Sindrom Putri Tidur dan Kisah Raisa Terlelap Belasan Hari Nonstop

Siswanto Suara.Com
Rabu, 25 Oktober 2017 | 11:59 WIB
Sindrom Putri Tidur dan Kisah Raisa Terlelap Belasan Hari Nonstop
Siti Raisa Miranda alias Echa [Facebook Mulyadi, ayah Raisa]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Masih ingat kisah Putri Tidur karya Brothers Grimm? Putri raja yang disihir oleh penyihir jahat bahwa dia akan meninggal di usia lima belas tahun. Tetapi penyihir yang lain bisa meringankan kutukan bahwa putri raja tidak akan meninggal, tetapi hanya akan tidur selama 100 tahun.

Kisah itu memang tidak sama persis dengan apa yang terjadi pada remaja putri asal Banjarmasin bernama Siti Raisa Miranda alias Echa. Kemiripannya, Raisa juga mengalami tidur yang berkepanjangan, sampai belasan hari nonstop.

Sampai saat ini belum diketahui secara persis penyebab gangguan tidur yang dialami Raisa. Dokter Spesialis Saraf RSUP Dr. Sardjito, dr. Astuti, Sp.S(K) belum dapat menyimpulkan persoalan Raisa. Dia mengatakan pada kasus Raisa masih perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter spesialis.

Tetapi, Astuti memaparkan adanya kasus Sindrome Kleine-Levin dan gangguan tidur pasca trauma.

Sindrom Kleine-Levin (Kleine-Levin Syndrome disingkat KLS) merupakan penyakit saraf yang langka dan kompleks, dimana penderita tidak bisa mengontrol rasa kantuknya. Penderita bisa tertidur selama berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan bisa berbulan-bulan, tergantung pada berapa lama penyakit itu muncul atau kambuh.

"Selain rasa kantuk, keluhan sering disertai dengan perubahan sikap dan perilaku. Kelainan ini sering terjadi pada remaja, tetapi tak khayal juga terjadi pada anak-anak dan dewasa," kata Astuti kepada Suara.com, Rabu (25/10/2017).

Pada periode antar serangan pasien tidak akan menunjukkan gejala fisik apa-apa, tetapi pasien sering tidak dapat mengurus keperluan sekolah atau pekerjaannya, sehingga juga akan berdampak pada fungsi sosial pasien. Episode KLS sering berlanjut hingga 10 tahun kemudian atau lebih, dan gangguan ini sering disebut dengan Sleeping Beauty Syndrome.   

Penderita bisa bangun hanya untuk makan atau pergi ke kamar mandi. Penderita bisa dibangunkan oleh orang lain, tetapi penderita selalu mengeluh merasa capek dan letih. Ketika penderita bangun penderita bertingkah seperti anak kecil, bingung, dan disorientasi karena sebagian memorinya ingatannya terhapus pada saat penderita tertidur, banyaknya ingatan yang terhapus tergantung dari seberapa lama penderita tidur.

Dan penderita sensitif terhadap suara dan cahaya ketika bangun. Gejala sering diikuti dengan rasa berlebihan dan pada pasien dewasa sering diikuti dengan gejala hiperseksualitas. Penyakit sering ini kambuh tanpa peringatan. Sebagian penelitian di Amerika Serikat mempercayai penyebab penyakit KLS adalah mutasi gen atau DNA yang dibawa oleh orang tua penderita. Tetapi penyebab pasti KLS masih belum diketahui.

Sejumlah kemungkinan telah dipertimbangkan, termasuk kerusakan di hipotalamus, autoimun, dan infeksi. Etiologi tersering dari KLS adalah akibat adanya patologi dari hipotalamus dikarenakan oleh peran penting struktur ini dalam mengatur tidur, nafsu makan, dan perilaku seksual. Disarankan juga faktor penyebab lainnya yaitu, viral dan autoimun, berdasarkan laporan seringnya terjadi gejala menyerupai flu saat onset, dan sebagai faktor presipitasi yang paling sering terjadi sebanyak 70 persen.

Kelainan pada metabolisme serotonin dan dopamin telah dilaporkan pada beberapa kasus, dan menunjukkan adanya ketidakseimbangan neurotransmiter di jalur serotonergik atau dopaminergik. Menghilangnya sindrom ini secara spontan dan misterius sama halnya dengan belum diketahuinya mekanisme pasti yang menentukan periodisitasnya, dan ini membutuhkan investigasi lebih lanjut di masa depan.

International Classification of Sleep Disorders 3rd edition (ICSD-3) menggambarkan KLS sebagai suatu sindrom yang ditandai oleh episode relapsing-remitting dari hipersomnolens berat yang berhubungan dengan gangguan kognitif, psikiatri, dan perilaku (ICSD-3, 2013).

Kriteria diagnosis (A s/d E) menurut ICSD-3 (2013) menyatakan lima poin penting yang harus dipenuhi untuk mendiagnosis KLS :

A. Pasien mengalami rasa kantuk dan durasi tidur yang berlebihan setidaknya 2 episode berulang, masing-masing berlangsung selama 2 hari sampai dengan 5 minggu.
B. Episode tersebut terulang biasanya lebih dari 1 kali per tahun dan sedikitnya 1 kali setiap 18 bulan.
C. Kesadaran, fungsi kognitif, perilaku, dan mood pasien dalam batas normal diantara episode.
D. Pasien harus memiliki setidaknya 1 gejala berikut selama berlangsungnya episode :

1. Disfungsi kognitif
2. Perubahan status mental
3. Gangguan makan (anoreksia atau hiperfagia)
4. Disinhibisi perilaku (contoh : hiperseksual)

E. Gejala hipersomnolens dan gejala yang terkait tidak dijelaskan dengan baik oleh kelainan tidur lain, gangguan medis, neurologis, atau psikiatri lainnya (terutama gangguan bipolar), atau penggunaan obat-obatan terlarang, atau obat-obatan.

Pasien KLS sering salah didiagnosis dengan gangguan kejiwaan. Periode mengantuk, hiperfagia, dan menutup diri dapat menyerupai gejala depresi berat, dan pada beberapa pasien dapat mengalami periode manik, sehingga salah didiagnosis dengan gangguan bipolar. Ada juga sejumlah gejala mood lainnya atau gangguan perseptual yang menyerupai gangguan kejiwaan primer. Narkolepsi, sindrom Klüver-Bucy, dan epilepsi lobus temporal (yang dikesampingkan di sini oleh EEG) juga dapat menghasilkan profil gejala yang serupa.

Astuti mengatakan multiple sclerosis juga memiliki komponen neurologis yang bisa meniru profil gejala KLS. Sebelum diagnosis akhir dapat dilakukan, semua kemungkinan lain harus dikesampingkan dengan hati-hati, dan kumpulan gejala harus sesuai dengan yang biasa diamati pada pasien KLS.

Sindrom Kleine-Levin memiliki perjalanan klinis yang benigna, dengan hilangnya gejala secara spontan. Sebuah studi tahun 2005 terhadap 186 KLS melaporkan bahwa pada subyek dimana penyakit ini berakhir, usia rata-rata adalah 23 dan durasi rata-rata adalah 4 tahun. Subyek mengalami durasi rata-rata 6 bulan antara episode, tapi ini berkisar antara 0,5 sampai 72 bulan. Subjek biasanya mengalami serangan yang kurang sering dan kurang intens menjelang akhir perjalanan penyakit, dan subjek dianggap sembuh jika mereka tidak mengalami episode selama 6 tahun atau lebih.

Tidak ada pengobatan definitif untuk sindrom Kleine-Levin selama episode serta periode interepisodik. Berbagai stimulan, termasuk methylphenidate, modafinil, pemoline-piracetam-meclofenoxate, D-amfetamin, efedrin, metamfetamin, amfetamin, dll. telah digunakan selama episode dalam banyak laporan kasus, tetapi tidak didapatkan manfaat yang konsisten dari salah satu obat tersebut. Obat-obatan tersebut dapat digunakan untuk mengobati kantuk, namun sayangnya tidak memperbaiki fungsi kognitif atau unsur lain dari kondisi perubaan mental. Obat lithium diketahui dapat memperbaiki perilaku abnormal dan pemulihan gejala secara signifikan (mengurangi durasi episode). 

Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah kemiripan antara sindrom Kleine-Levin dan gangguan bipolar (yaitu: adanya gejala kambuhan episode dan perubahan mood mendadak selama episode hingga hipomanik pada akhir episode pada beberapa pasien). Manfaat serupa juga diperhatikan dengan carbamazepine dalam beberapa laporan kasus. Respons terhadap pengobatan seringkali terbatas, dan tidak ada bukti untuk mendukung penggunaan terapi ini.

Berbagai laporan kasus menggunakan obat-obatan seperti flumazenil, chlorpromazine, levomepromazine, trifluoperazine, haloperidol, thioridazine, clozapine, dan risperidone dan ternyata tidak efektif. Terapi elektrokonvulsif (ECT) dan terapi koma insulin tidak berpengaruh pada gejala KLS (dan bahkan memperburuk kebingungan dalam kasus terapi ECT). 

Selama periode interepisodik, berbagai mood stabilizer, seperti litium, karbamazepin, valproat, fenitoin, dan fenobarbital, diteliti seperti yang disebutkan di atas persamaan antara gangguan bipolar dan KLS. Dari percobaan ini, hanya lithium yang memiliki tingkat respons yang dilaporkan secara signifikan lebih tinggi daripada tanpa pengobatan. Lithium telah mengurangi kemungkinan kambuh. Bahkan karbamazepin juga mengurangi jumlah kambuh dalam banyak laporan. 

Gangguan tidur juga sering dikeluhkan pasca trauma kepala, dengan angka kejadian 30-70 persen. Insomnia, rasa lelah, dan rasa kantuk berlebih merupakan keluhan gangguan tidur yang paling banyak disampaikan. Depresi, gangguan cemas, dan nyeri merupakan komorbiditas yang sering dan dapat juga mempengaruhi kualitas tidur. Diagnosis banding gangguan tidur pasca trauma kepala antara lain obstructive sleep apnea (OSA), central sleep apnea, complex sleep apnea, hipersomnia akibat kondisi medis, gangguan tidur irama sirkadian, insomnia, parasomnia, periodic limb movement disorder, nyeri, depresi/kecemasan, dan rasa lelah.

Diagnosis gangguan tidur membutuhkan polisomnografi, multiple sleep latency test (MSLT), dan/atau actigraphy.

Post-traumatic hypersomnia (PTH) merupakan kelainan yang ditandai rasa kantuk berlebih yang terjadi akibat kejadian trauma melibatkan sistem saraf pusat. Diagnosis PTH dibuat dengan kriteria rasa kantuk berlebih terjadi hanya setelah trauma, penyebab lain disingkirkan anamnesis dan polisomnografi nokturnal. Perlu disingkirkan juga efek sedatif obat-obatan yang sedang dikonsumsi pasien, misalnya obat antiepilepsi.  

"Belum ada laporan penelitian yang menjelaskan lesi pada struktur tertentu yang menjadi prediktor hipersomnia pada pasien TBI," kata Astuti.

Pasien dengan narkolepsi atau hipersomnia akibat trauma kepala memerlukan obat stimulan seperti modafinil, metilfenidat, atau amfetamin dengan dosis yang sama seperti narkolepsi idiopatik. Penelitian lain melaporkan bahwa modafinil kurang efektif untuk mengatasi rasa kantuk berlebih akibat trauma kepala. Klinisi perlu mempertimbangkan terapi konservatif, seperti strategi tidur dan kafein dapat membantu pada kasus PTH.

REKOMENDASI

TERKINI