Sindrom Putri Tidur dan Kisah Raisa Terlelap Belasan Hari Nonstop

Siswanto Suara.Com
Rabu, 25 Oktober 2017 | 11:59 WIB
Sindrom Putri Tidur dan Kisah Raisa Terlelap Belasan Hari Nonstop
Siti Raisa Miranda alias Echa [Facebook Mulyadi, ayah Raisa]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Kelainan pada metabolisme serotonin dan dopamin telah dilaporkan pada beberapa kasus, dan menunjukkan adanya ketidakseimbangan neurotransmiter di jalur serotonergik atau dopaminergik. Menghilangnya sindrom ini secara spontan dan misterius sama halnya dengan belum diketahuinya mekanisme pasti yang menentukan periodisitasnya, dan ini membutuhkan investigasi lebih lanjut di masa depan.

International Classification of Sleep Disorders 3rd edition (ICSD-3) menggambarkan KLS sebagai suatu sindrom yang ditandai oleh episode relapsing-remitting dari hipersomnolens berat yang berhubungan dengan gangguan kognitif, psikiatri, dan perilaku (ICSD-3, 2013).

Kriteria diagnosis (A s/d E) menurut ICSD-3 (2013) menyatakan lima poin penting yang harus dipenuhi untuk mendiagnosis KLS :

A. Pasien mengalami rasa kantuk dan durasi tidur yang berlebihan setidaknya 2 episode berulang, masing-masing berlangsung selama 2 hari sampai dengan 5 minggu.
B. Episode tersebut terulang biasanya lebih dari 1 kali per tahun dan sedikitnya 1 kali setiap 18 bulan.
C. Kesadaran, fungsi kognitif, perilaku, dan mood pasien dalam batas normal diantara episode.
D. Pasien harus memiliki setidaknya 1 gejala berikut selama berlangsungnya episode :

1. Disfungsi kognitif
2. Perubahan status mental
3. Gangguan makan (anoreksia atau hiperfagia)
4. Disinhibisi perilaku (contoh : hiperseksual)

E. Gejala hipersomnolens dan gejala yang terkait tidak dijelaskan dengan baik oleh kelainan tidur lain, gangguan medis, neurologis, atau psikiatri lainnya (terutama gangguan bipolar), atau penggunaan obat-obatan terlarang, atau obat-obatan.

Pasien KLS sering salah didiagnosis dengan gangguan kejiwaan. Periode mengantuk, hiperfagia, dan menutup diri dapat menyerupai gejala depresi berat, dan pada beberapa pasien dapat mengalami periode manik, sehingga salah didiagnosis dengan gangguan bipolar. Ada juga sejumlah gejala mood lainnya atau gangguan perseptual yang menyerupai gangguan kejiwaan primer. Narkolepsi, sindrom Klüver-Bucy, dan epilepsi lobus temporal (yang dikesampingkan di sini oleh EEG) juga dapat menghasilkan profil gejala yang serupa.

Astuti mengatakan multiple sclerosis juga memiliki komponen neurologis yang bisa meniru profil gejala KLS. Sebelum diagnosis akhir dapat dilakukan, semua kemungkinan lain harus dikesampingkan dengan hati-hati, dan kumpulan gejala harus sesuai dengan yang biasa diamati pada pasien KLS.

Sindrom Kleine-Levin memiliki perjalanan klinis yang benigna, dengan hilangnya gejala secara spontan. Sebuah studi tahun 2005 terhadap 186 KLS melaporkan bahwa pada subyek dimana penyakit ini berakhir, usia rata-rata adalah 23 dan durasi rata-rata adalah 4 tahun. Subyek mengalami durasi rata-rata 6 bulan antara episode, tapi ini berkisar antara 0,5 sampai 72 bulan. Subjek biasanya mengalami serangan yang kurang sering dan kurang intens menjelang akhir perjalanan penyakit, dan subjek dianggap sembuh jika mereka tidak mengalami episode selama 6 tahun atau lebih.

Tidak ada pengobatan definitif untuk sindrom Kleine-Levin selama episode serta periode interepisodik. Berbagai stimulan, termasuk methylphenidate, modafinil, pemoline-piracetam-meclofenoxate, D-amfetamin, efedrin, metamfetamin, amfetamin, dll. telah digunakan selama episode dalam banyak laporan kasus, tetapi tidak didapatkan manfaat yang konsisten dari salah satu obat tersebut. Obat-obatan tersebut dapat digunakan untuk mengobati kantuk, namun sayangnya tidak memperbaiki fungsi kognitif atau unsur lain dari kondisi perubaan mental. Obat lithium diketahui dapat memperbaiki perilaku abnormal dan pemulihan gejala secara signifikan (mengurangi durasi episode). 

REKOMENDASI

TERKINI