Suara.com - Pembuatan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) Polri, sebagai institusi baru pemberantasan rasywah dinilai berlebihan.
Pengajar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Umar Husin mengatakan, densus itu berlebihan kalau hanya ingin melakukan aksi pencegahan korupsi.
Menurut dia, pembentukan Densus Tipikor harus memunyai aturan jelas yang mengatur secara komprehensif detasemen itu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Baca Juga: Trio Lestari Penasaran Nyanyikan Indonesia Raya 3 Stanza
Kalau tidak begitu, terjadi tumpang tindih kewenangan, tugas, dan fungsi dengan lembaga lain semisal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan RI.
"Kalau tidak diatur secara jelas akan tumpang tindih dan duplikasi, serta menjadi kontraproduktif terhadap lembaga yang lain," kata Umar dalam diskusi bertajuk 'Perlukah Densus Tipikor' di Gado-Gado Boplo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (21/10/2017).
Untuk itu, dia menegaskan Densus Tipikor yang dibentuk harus memiliki kekhasan. Misalkan, Densus Tipikor hanya menyasar korupsi-korupsi yang dilakukan pejabat di luar negeri.
"Kalau misalkan nanti akan dibuat badan baru, harus mempunyai kekhasan yang berbeda dengan lembaga lain, dalam hal ini KPK. Masak cuma untuk mencegah harus buat badan baru, saya pikir terlalu berlebihan," nilainya.
Umar juga mengkritik wacana anggota DPR yang menginginkan Densus Tipikor memiliki cabang di semua daerah guna menyasar korupsi pejabat daerah, Umar Husin kritisi itu.
Baca Juga: Dua Simpatisan ISIS Ditangkap di Sumatera Utara
"Artinya, kalau secara tersurat sasarannya adalah lurah-lurah yang menerima dana dari kementerian ya tak usah. Tapi, kalau memang ada gagasan besar lain, jangan detasemen khusus tapi detasemen umum saja, kapolsek juga bisa menangani itu," kritiknya.