Suara.com - Alissa Wahid, putri pertama mendiang Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid, mengatakan masyarakat Indonesia tidak perlu mendikotomikan kembali pribumi dan nonpribumi. Sebab, hal itu justru berpotensi merusak simpul persatuan.
"Bahasa pribumi dan nonpribumi akan menjadi pembatas. Orang dikotakkan menjadi kelompok satu dengan kelompok lainnya," kata Alissa, saat acara sarasehan seni dan urban di Jogja National Museum, Yogyakarta, Rabu (18/10/2017) malam.
Hal itu disampaikan Alissa mengomentari isi pidato Anies Baswedan seusai dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta, yang membedakan antara golongan pribumi dan nonpribumi.
Baca Juga: Kemensos Usulkan 9 Nama Pahlawan Nasional Baru
"Meskipun konteksnya saat kolonialisme, itu (penggunaan istilah pribumi dan nonprobumi) problematik," terangnya.
Menurut Alissa, pekerjaan rumah (PR) bangsa Indonesia saat ini justru bukan lagi menyoal pribumi dan nonpribumi atau “kita” melawan “mereka”, tetapi bagaimana mencari kita di tengah “aku”.
"'Aku' ini kan banyak ada Sunda, Batak, Jawa dan lainnya. Sementara sejak awal Indonesia dibangunnya ya di atas 'aku-aku' ini," jelasnya.
Ia mengakui, asih ada problem ketimpangan sosial di tengah masyarakat Indonesia. Meski demikian, ia menilai penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi tetap tidak tepat untuk mengilustrasikan kondisi tersebut.
"Saya yakin Pak Anies bukanlah orang yang tidak berpikir. Dia tahu bahwa penggunaan bahasa itu akan problematik. Pertanyaannya apa yang sedang dipikirkan saat itu," tuturnya.
Baca Juga: Anies dan Sandiaga Senang Sudah Dapat Kartu Identitas Pemprov
Kendati demikian, saat pertama mendengar perbincangan yang membahas penggunaan bahasa itu, Alissa mengakui segera ingin melihat isi pidato Anies seutuhnya.
"Saya tidak ingin terjebak dengan istilah itu. Kita akui, pada kasus Pak Ahok (Basuki Tjahaja Purnama), kita sudah pernah terjebak dengan menggunting kata," kata Koordinator Jaringan Gusdurian Indonesia ini.