Diskriminatif, Qanun Jinayat Aceh Akan Diadukan ke MK

Reza Gunadha Suara.Com
Senin, 16 Oktober 2017 | 17:41 WIB
Diskriminatif, Qanun Jinayat Aceh Akan Diadukan ke MK
Terpidana menjalani hukum cambuk di halaman Masjid Desa Lambaro Skep, Banda Aceh, Aceh, Selasa (18/4).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

”Pelaku pemerkosaan ataupun kekerasan terhadap perempuan lainnya bisa bebas kalau berani mengucapkan sumpah sebanyak 5 kali. Setelah mengucap sumpah itu, dia bisa bebas. Sangat mudah,” tukasnya.

Akibatnya, banyak perempuan korban pemerkosaan maupun kekerasan lainnya mengurungkan niat untuk melapor ke polisi. Contohnya, kasus yang menimpa seorang bocah perempuan penyandang disabilitas di Desa Meunasah Geudong, Kabupaten Biruen.

Selain pasal 52 ayat 1, Zakia mengatakan Pasal 9 Qanun Jinayat juga dinilai sebagai ”pasal karet” dan merugikan kaum perempuan dan kelompok minoritas di Aceh.

”Sebab, pasal itu mengatur bahwa petugas Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP dan WH) diberikan kekebalan hukum saat beraksi. Dengan begitu, sangat rentan terjadi kesewenang-wenangan, dan menghapus asas praduga tak bersalah dalam hukum. Jadi, setiap ada yang digerebek, mereka sudah dipastikan dicap bersalah walau tanpa pembuktian,” terang Donna.

Baca Juga: Bernilai Miliaran Dolar AS, Pemerintah Perlu Atur Regulasi IoT

Dalam banyak kasus, terusnya, Satpol PP dan WH yang melakukan penggerebekan  tertuduh pasangan khalwat atau perzinaan melakukan kekerasan fisik maupun verbal.

”Pada satu kasus, ada aparat yang merekam orang yang diduga berzina dan mengarak korban yang tak berpakaian. Kemudian video itu disebar melalui media resmi pemerintah Aceh,” ungkapnya.

Hukuman Cambuk

Donna Swita, aktivis lainnya dalam jaringan tersebut, mengatakan hukuman yang diberikan kepada korban yang secara sepihak diklaim sebagai pelaku zina, homoseksual, maupun pelanggaran syariat lainnya juga tak adil.

”Dalam qanun itu disebutkan, sanksi yang diberikan ada tiga, yakni penjara, cambuk, atau denda emas. Namun, dalam proses penyelesaian kasus, banyak korban akhirnya terpaksa memilih hukuman cambuk karena paling sedikit konsekuensi yang harus ditanggung,” terangnya.

Baca Juga: DPD Usul Pembangunan Bandara di Kayong Utara Masuk PSN

Ia menuturkan, korban yang dijerat memakai qanun itu mayoritas warga dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah atau rakyat miskin.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI