Anggota Majelis Etik Aliansi Jurnalis Indonesia Indonesia Syofiardi Bachyul JB menegaskan kesiapannya maju menjadi calon Ketua Umum AJI Indonesia periode 2017-2020. Pemilihan Ketua Umum AJI Indonesia baru akan dilangsungkan dalam Kongres di Solo, Jawa Tengah, pada 24-25 November 2017 mendatang.
"Saya maju karena ada masalah kaderisasi kepemimpinan di AJI Indonesia setidaknya dalam dua periode terakhir. Pertama itu terjadi karena sistem, sistem pemilihan ketum dan sekjen yang tidak memiliki proses panjang, tapi hanya muncul saat kongres hari kedua," kata Syofiardi saat dihubungi oleh Suara.com via telegram, Jumat (13/10/2017).
Menurutnya, sistem ini menyebabkan tidak munculnya tokoh-tokoh AJI menjelang kongres dengan ide-ide memajukan organisasi dan memajukan pers Indonesia. Kondisi ini bisa saja mengakibatkan terpilihnya ketum dan sekjen yang tidak diperhitungkan, namun dipilih karena keadaan saat kongres.
"Sistem seperti ini sudah diprotes cukup lama oleh sejumlah tokoh AJI dan mulai dimunculkan tradisi calon pra kongres waktu Kongres Makassar. Tapi suasana waktu itu bukan karena sistem,melainkan adanya kubu," jelasnya.
Kedua, selama ini AJI sama sekali tidak pernah memikirkan kaderisasi kepemimpinan melalui program. Yang terjadi kaderisasi kepemimpinan berlangsung secara alami.
Baca Juga: AJI Indonesia Dorong Penguatan Bloger dan Media Online
"Siapa yang aktif, bagus, dan berada di Jakarta maka akan menjadi pengurus AJI Indonesia. Kalau aktif, maka berpotensi menjadi sekjen, bahkan ketum. Kondisi ini mendorong bahwa yang layak memimpin AJI ke depan adalah lingkaran itu," jelasnya.
Menurutnya, para pengurus dan anggota AJI Padang meraa gusar melihat kondisi ini. Terlebih Kongres Surakarta tinggal kurang dari dua bulan lagi. "Belum ada calon yang muncul terang-terangan, akhirnya kawan-kawan di Padang meminta saya untuk maju sebagai kandidat," tuturnya.
Syofiardi sendiri menilai bahwa masalah mendasar jurnalisme di Indonesia tidak berubah dari sejak AJI dilahirkan. AJI hanya bagian dari pelaku pers di Indonesia yang terus berusaha menjaga pers tetap dijalankan dengan profesional, salah satu yang utama adalah independensi jurnalis.
"Itu internal pers, faktor eksternal adalah ancaman terhadap kebebasan pers yang selalu ada. Contoh: Dulu awal 2000-an kita sibuk menentang "pasal karet" dalam KUHP dan AJI melahirkan banyak buku kasus tentang itu, sekarang dan ke depan kita akan berhadapanan dengan "pasal karet baru" berupa UU ITE," urainya.
Masalah lain yang menjadi tantangan AJI masih tetap sama. Mulai dari kesejahteraan jurnalis dan kualitas jurnalis. "Bagi saya platform baru media dengan media siber hanyalah perubahan bentuk. Itu bukanlah ancaman jangka panjang, karena siapa pun akan bisa menyesuaikan diri," tutupnya.