Suara.com - Pemerintah telah memberi tunjangan profesi dan tunjangan khusus guru, baik yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) maupun bukan PNS. Apakah wartawan memungkinkan menerima tunjangan profesi dari Pemerintah?
Bab pemberian tunjangan profesi tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (vide Pasal 15 Ayat 1). Mulai dari persyaratan penerima tunjangan profesi, besar-kecilnya tunjangan, hingga asal anggaran tersebut sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah, maupun peraturan menteri.
Jika mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.05/2010 tentang Tata Cara Pembayaran Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor, mereka yang berstatus non-PNS juga menerima tunjangan tersebut.
Sementara itu, dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, mulai Pasal 1 hingga Pasal 21 tidak ada frasa "tunjangan profesi". Bahkan, produk hukum pasca-Orde Baru ini sejak diterbitkan hingga sekarang hanya ada satu peraturan pemerintah, yakni PP No. 40/2007 tentang Perusahaan Umum (Perum) Lembaga Kantor Berita Nasional Antara.
Baca Juga: Wartawan Tanya Proyek Reklamasi, Anies: Kompor-kompor!
Beda dengan UU Guru dan Dosen. Untuk melaksanakan undang-undang ini, khususnya tunjangan profesi, ada PP No. 41/2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor.
Tanpa ada pasal yang mengatur tunjangan profesi, Pemerintah tidak memiliki dasar untuk memberi tunjangan kepada wartawan. Namun, perusahaan pers tampaknya memungkinkan memberi tunjangan profesi kepada wartawannya.
Muncul pertanyaan apakah semua perusahaan pers mampu memberikan tunjangan profesi kewartawanan? Tampaknya perlu ada formula khusus agar perusahaan pers mampu menyejahteraan karyawannya, termasuk memberi tunjangan profesi.
Karena itu, penggajian terhadap wartawan perlu memerhatikan masa kerja, kinerja karyawan, dan sertifikat kompetensi. Wartawan dan karyawan pers yang mumpuni akan memberi kontribusi berarti pada perusahaannya. Dengan oplah atau tingkat kunjungan mengalami peningkatan, bakal mengundang pemasang iklan.
Amanat UU Pers Lagi pula, UU Pers mengamanatkan kepada pihak perusahaan pers untuk memberikan kesejahteraan bagi wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan/atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.
Baca Juga: Gara-gara Senggolan, Seorang Wartawan Dikeroyok Mahasiswa Usahid
Frasa terakhir dalam Pasal 10 UU Pers itu tampaknya merupakan peluang bagi insan pers menerima tunjangan profesi. Bahkan, dalam Penjelasan atas UU Pers disebutkan bahwa "bentuk kesejahteraan lainnya" adalah peningkatan gaji, bonus, pemberian asuransi, dan lain-lain. Meskipun demikian, pemberian kesejahteraan tersebut berdasarkan kesepakatan antara manajemen perusahaan dan wartawan serta karyawan pers.
Terkait dengan tunjangan profesi, Ketua Bidang Organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Sasongko Tedjo berharap profesionalisme berimplikasi pada kesejahteraan wartawan.
Sasongko juga mengharapkan paling lambat 2019 sudah ada peraturan Dewan Pers tentang kewajiban perusahaan pers mempekerjakan wartawan bersertifikat kompetensi.
Dalam penentuan tunjangan profesi wartawan, menurut Sasongko, perusahaan pers bisa mengacu pada jenjang sertifikat kompetensi wartawan, yakni muda, madya, dan utama.
Selain itu, lanjut Sasongko, Dewan Pers mengeluarkan surat edaran kepada masyarakat agar tidak melayani wartawan yang tidak bersertifikat.
Dahulu semua orang bisa mengaku wartawan atau dengan mudah menjadi wartawan. Sekarang, hal itu tidak bisa lagi karena nanti hanya wartawan yang telah memiliki sertifikat kompetensi wartawan yang boleh menjalankan profesi ini, katanya.
Hal itu sama dengan profesi lain, seperti guru, pengacara, dokter, dan sebagainya, kata Sasongko menjawab pertanyaan Antara sehubungan dengan rencana PWI Provinsi Jawa Tengah yang akan mengadakan uji kompetensi wartawan (UKW) di Gedung Pers, Semarang, 20 sampai dengan 21 Oktober 2017.
Sasongko menyebutkan anggota PWI yang sudah mengikuti UKW sekitar 8.000 orang. Belum dari organisasi lainnya. Pencapaian ini sangat membanggakan karena dengan adanya standar kompetensi, wartawan akan makin bermartabat dan lebih profesional.
Dia menekankan, standar kompetensi wartawan tidak hanya mengacu pada aspek keterampilan dan pengetahuan, tetapi juga pada sikap dan etika profesi. Bahkan, untuk jenjang utama juga dinilai "leadership"-nya.
Di lain pihak, standardisasi wartawan terus dibarengi dengan standardisasi perusahaan media dan organisasi wartawan. Hal ini, kata Sasongko, untuk menjawab tuntutan profesionalisme pers setelah mendapatkan kebebasan, sebagaimana amanat UU Pers.
Masyarakat Merasa Tenang Meski sebagian besar insan pers belum menerima tunjangan profesi, baik dari pemerintah maupun perusahaan, seyogianya tetap menjaga profesionalisme dengan menaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ), UU Pers, dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Menurut Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah Amir Machmud N.S., masyarakat, termasuk sumber berita, akan merasa tenang dengan kehadiran wartawan kompeten, apalagi di tengah kebimbangan akan kebenaran informasi di media sosial.
Keberadaan wartawan, antara lain, diwadahi PWI, menjadi salah satu dari ikhtiar organisasi kewartawan ini bersama masyarakat untuk membendung kemungkinan berbagai kabar bohong berseleweran di sekitar kita.
Sejumlah sumber berita juga membenarkan pernyataan Amir Machmud pada pelantikan pengurus PWI Kabupaten Magelang, Rabu (20/9). Mereka merasa tenang berhadapan dengan wartawan berkompeten karena pemegang kartu UKW ini tidak akan memelintir pernyataannya.
Tentu saja tenang dan senang bertemu dengan wartawan berkompeten. Tidak khawatir berita akan dipelintir di luar konteksnya. Ada proses 'check and recheck' di sana, kata Presiden Direktur Indoguardika Cipta Kreasi (ICK) Agung Setia Bakti.
Terkait dengan rencana PWI Provinsi Jawa Tengah akan melaksanakan UKW, Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Diponegoro Semarang Teguh Yuwono mengatakan bahwa uji kompetensi wartawan ini untuk membuat standardisasi.
Profesi wartawan harus kompeten dan kredibel serta profesional, kata Teguh menjawab pertanyaan apakah merasa tenang atau tidak waswas ketika menghadapi wartawan berkompeten.
Di satu sisi, keberadaan wartawan yang lulus UKW ternyata menurut pengakuan sejumlah sumber berita membuat mereka merasa tidak khawatir bakal terjadi distorsi. Namun, di sisi lain, para pemangku kepentingan pers nasional mulai memikirkan perlunya tunjangan profesi bagi wartawan.
Apabila peraturan perundang-undangan belum mengatur hal itu, Pemerintah, DPR RI, Dewan Pers, perusahaan pers, dan organisasi profesi kewartawanan mulai ancang-ancang merevisi UU No.40/1999 tentang Pers dengan menggelar seminar yang membahas tunjangan profesi bagi wartawan dan ketentuan lainnya, seperti mempertegas posisi media "online".
Kita berharap naskah akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Pers yang pembahasannya perlu melibatkan guru besar, pakar, dan pemangku kepentingan pers nasional itu akan lebih menyempurnakan UU No.40/1999. (Antara)