Suara.com - Ananda Badudu, mantan personel band duo "Banda Neira", kaget ketika lampu ruangan tengah tempat dirinya bernyanyi tiba-tiba padam. Padahal malam belum larut. Jam masih menunjukkan pukul 21.40 WIB.
Ananda lantas beringsut turun dari panggung, meski lagu "Esok Pasti Jumpa (Kau Keluhkan)" yang ia nyanyikan belum terselesaikan.
Namun, langkah Ananda ditahan tamu. Ia diminta membawakan satu lagi lagu. "Memang di luar ada sesuatu ya? Ada yang konferensi pers malam-malam begini?" tutur Ananda, berkelakar, yang disambut tawa penikmat musiknya.
Baca Juga: Poligami Selebriti, Media Massa Jadi 'Komprador' Patriarki
Tawa para hadirin itu ternyata menjadi gelak terakhir yang membahana dari pentas seni "Asik Asik Aksi: Indonesia Darurat Demokrasi" di gedung YLBHI, Minggu (17/9/2017) malam. Selanjutnya, hawa gedung berubah mencekam yang mencabar ke setiap orang.
Massa mulai menyemut di depan pagar YLBHI. Mereka mengepung. Drama pengepungan kantor YLBHI itu berlangsung selama 5 jam, sejak Minggu malam hingga Senin (18/9) dini hari. Selama itulah para peserta dan pengunjung acara tersebut tak bisa pulang dan krisis air minum. Sementara di luar pagar, kerusuhan menyeruak.
Pengepungan itu berawal dari pesan berantai melalui aplikasi obrolan ponsel maupun media sosial, bahwa acara di YLBHI tersebut adalah bagian dari deklarasi kebangkitan PKI. YLBHI membantah tudingan tersebut. Belakangan, polisi juga memastikan informasi mengenai acara PKI itu adalah bohong alias hoaks.
Sebelum kisah pengepungan tersebut, warga Indonesia sudah banyak mencecapi berita maupun informasi hoaks, terutama melalui “dunia maya” alias internet.
Hoaks juga marak tersebar bak jamur di musim penghujan kala pagelaran kontes politik seperti pemilihan kepala daerah (pilkada) atau pemilihan umum (pemilu).
Baca Juga: Jokowi Tawarkan Laos Beli Alat Perang Buatan Indonesia
Kenapa berita hoaks itu marak tersebar? Lantas, kenapa publik yang meyakini berita atau informasi itu tak benar tapi tetap meyakininya sebagai suatu kebenaran?
Mewajarkan yang Tak Wajar
Untuk menjelaskan hal tersebut, sejumlah pemikir menyebut situasi ketika publik lebih percaya terhadap hoaks ketimbang fakta objektif sebagai “era pascakebenaran” atau “Post-Truth”.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) belum mengadopsi frasa tersebut. Namun, Oxford English Dictionary, sejak tahun 2016, telah memasukkan diksi “Post-truth”.
“Berkaitan dengan atau menunjukkan keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik, ketimbang pengaruh emosi dan keyakinan pribadi,” demikian arti pascakebenaran menurut Oxford English Dictionary.
Profesor Justinus Sudarminta, Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, mengatakan Indonesia juga kekinian sudah menunjukkan gejala era pascakebenaran.
“Gejala itu ditunjukkan oleh situasi di mana kebenaran objektif atau yang sesuai fakta, kurang berpengaruh dalam pembentukan opini publik. Pemikiran masyarakat mengenai sesuatu justru dipengaruhi oleh emosi dan keyakinan pribadi,” tuturnya kepada Suara.com, Kamis (12/10/2017).
Prof DR Justin Sudarminta
Bagaimana kebenaran faktual “dipinggirkan” dan digantikan oleh “kebenaran versi sendiri” itu merebak? Sang profesor menyebut berita-berita palsu alias hoaks di media sosial maupun media massa juga turut memengaruhi hal tersebut.
“Kuatnya budaya pencitraan yang disebarluaskan lewat media sosial, serta industri rekayasa opini publik lewat penyebaran informasi yang palsu, membuat kabur mana yang asli dan mana yang palsu, mana yang benar dan mana yang salah, mana fakta mana opini,” terangnya.
Akibatnya, kata dia, masyarakat kontemporer Indonesia justru semakin permisif atau mewajarkan apa yang sesungguhnya sudah tak lagi wajar.
Misalnya, menyebar ujaran kebencian mengenai sesuatu dengan alasan hal itulah yang menurut keyakinannya merupakan kebenaran, meski tak sesuai fakta objektif.
Tak hanya itu, Profesor Sudar juga menunjukkan era pascakebenaran di Indonesia turut ditandai dengan pemakaian gaya bahasa eufemisme dalam hidup sehari-hari.
Eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan. Padahal, bahasa yang “kasar” itulah yang tak menutupi fakta objektif.
Prof Sudar menuturkan, pemakaian gaya bahasa eufemisme itu guna menggangap wajar apa yang sesungguhnya sudah tidak wajar. Gaya bahasa seperti itu juga banyak dipakai para politikus atau narasumber media massa, untuk menutupi suatu fakta objektif.
Misalnya, mengganti diksi ‘pernyataan yang salah’ dengan ‘keseo lidah’; ‘berita bohong’ menjadi ‘tidak sepenuhnya benar’; ‘daerah miskin’ menjadi ‘daerah tertinggal’; ‘bencana kelaparan’ menjadi ‘rawan pangan’; ‘kenaikan harga’ menjadi ‘penyesuaian harga’; ‘penggusuran’ diganti menjadi relokasi/penataan’; dan sebagainya.
Memeriksa Kebenaran
Julian Baggini, filsuf Amerika Serikat dan juga Pemimpin Redaksi majalah “The Philosophers' Magazine”, dalam artikelnya di The Guardian, Minggu 17 September 2017, mengatakan persoalan utama hoaks bukanlah mengenai apakah arti kebenaran itu sendiri.
“Masalah kita bukan terutama dengan arti kebenaran, tapi bagaimana dan oleh siapa kebenaran terbentuk,” tulisnya.
Ia menjelaskan, mayoritas orang mengklaim suatu kebenaran sangat mudah untuk diketahui karena berdasarkan asumsi sederhana.
“Asumsi yang dimaksud adalah, sebagian besar orang selalu menganggap benar mengenai apa yang dipikirannya, terlepas apakah yang dipikirkannya itu berdasarkan fakta objektif atau tidak. Keyakinan itu timbul karena mereka mengacu pada asumsi-asumsi yang sudah ada sejak dulu dan diturunkan lintas generasi,” tuturnya.
Masyarakat kekinian, kata dia, tidak siap dan tak mau mengucapkan “selamat tinggal” kepada pola pikir sederhana mengenai suatu kebenaran seperti itu, termasuk dalam dunia politik.
Julian Baginni
Padahal, sambung Baginni, pola pikir sederhana mengenai kebenaran seperti itu sudah sejak lama dirusak terutama oleh kepentingan-kepentingan kekuasaan.
“Bahkan, ilmu pengetahuan sudah sejak lama menunjukkan kepada kita, bahwa sebagian besar dari apa yang kita pikirkan tentang dunia itu adalah salah. Bahkan kita salah memahami mengenai cara kerja pikiran kita sendiri,” gugatnya.
Ia mengakui, orang-orang banyak yang malas untuk menerima penjelasan yang kompleks serta rumit mengenai suatu hal.
Karenanya, orang-orang lebih mudah memahami dan memercayai sesuatu itu benar kalau disertai dengan argumentasi sederhana. Padahal, penjelasan sederhana mengenai suatu hal belum tentu terjamin kebenarannya.
“Untuk membangun kembali kepercayaan akan kekuatan dan nilai kebenaran, kita tidak dapat menghindari kompleksitasnya. Kebenaran bisa dan seringkali sulit dipahami, ditemukan, dijelaskan, dan diverifikasi. Mereka juga sangat mudah disembunyikan, terdistorsi, disalahgunakan atau dipelintir. Satu-satunya cara adalah kita tak lelah untuk menguji kebenaran itu,” tulisnya lagi.