Era Pascakebenaran, saat Publik Lebih Percaya pada Hoaks

Reza Gunadha Suara.Com
Kamis, 12 Oktober 2017 | 14:58 WIB
Era Pascakebenaran, saat Publik Lebih Percaya pada Hoaks
Ilustrasi berita hoaks [Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Misalnya, menyebar ujaran kebencian mengenai sesuatu dengan alasan hal itulah yang menurut keyakinannya merupakan kebenaran, meski tak sesuai fakta objektif.

Tak hanya itu, Profesor Sudar juga menunjukkan era pascakebenaran di Indonesia turut ditandai dengan pemakaian gaya bahasa eufemisme dalam hidup sehari-hari.

Eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan. Padahal, bahasa yang “kasar” itulah yang tak menutupi fakta objektif.

Prof Sudar menuturkan, pemakaian gaya bahasa eufemisme itu guna menggangap wajar apa yang sesungguhnya sudah tidak wajar. Gaya bahasa seperti itu juga banyak dipakai para politikus atau narasumber media massa, untuk menutupi suatu fakta objektif.

Baca Juga: Poligami Selebriti, Media Massa Jadi 'Komprador' Patriarki

Misalnya, mengganti diksi ‘pernyataan yang salah’ dengan ‘keseo lidah’; ‘berita bohong’ menjadi ‘tidak sepenuhnya benar’;  ‘daerah miskin’ menjadi ‘daerah tertinggal’; ‘bencana kelaparan’ menjadi ‘rawan pangan’; ‘kenaikan harga’ menjadi ‘penyesuaian harga’; ‘penggusuran’ diganti menjadi relokasi/penataan’; dan sebagainya.

Memeriksa Kebenaran

Julian Baggini, filsuf Amerika Serikat dan juga Pemimpin Redaksi majalah “The Philosophers' Magazine”, dalam artikelnya di The Guardian, Minggu 17 September 2017, mengatakan persoalan utama hoaks bukanlah mengenai apakah arti kebenaran itu sendiri.

“Masalah kita bukan terutama dengan arti kebenaran, tapi bagaimana dan oleh siapa kebenaran terbentuk,” tulisnya.

Ia menjelaskan, mayoritas orang mengklaim suatu kebenaran sangat mudah untuk diketahui karena berdasarkan asumsi sederhana.

Baca Juga: Jokowi Tawarkan Laos Beli Alat Perang Buatan Indonesia

“Asumsi yang dimaksud adalah, sebagian besar orang selalu menganggap benar mengenai apa yang dipikirannya, terlepas apakah yang dipikirkannya itu berdasarkan fakta objektif atau tidak. Keyakinan itu timbul karena mereka mengacu pada asumsi-asumsi yang sudah ada sejak dulu dan diturunkan lintas generasi,” tuturnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI