Suara.com - Media-media massa di Indonesia mendapat banyak kritik, karena dianggap justru melanggengkan kebudayaan patriarkis maupun diskriminasi perempuan.
Salah satu kritik termutakhir dilontarkan aktivis "Aliansi Laki-laki Baru", Eko Bambang Subiantoro, melalui tulisan yang diunggah ke akun pribadi Facebook miliknya, 5 Oktober 2017. Aliansi Laki-laki Baru sendiri adalah komunitas yang giat menyampanyekan agar laki-laki turut melawan budaya patriarki.
Dalam tulisannya itu, ia mengkritik media-media massa yang getol membuat artikel mengenai poligami selebritas. Artikel termutakhir yang ramai dimuat di kolom-kolom gosip media massa adalah, poligami Arifin Ilham.
Eko menyayangkan, fenomena poligami tersebut justru disajikan secara "positif", alih-alih mengkritik praktik tersebut.
Baca Juga: Kementerian PUPR Bangun Tanjung Selor Jadi Kota Baru Mandiri
"Kalau media tidak lagi sensitif terhadap sejumlah dinamika sosial apakah itu berdampak positif atau tidak bagi kemajuan masyarakat, keadilan, kesetaraan, lalu kemana lagi kita bisa berharap pada adanya perubahan?" tulis Eko memulai kritiknya.
Ia menyayangkan, media massa arus utama di Tanah Air kerap kali mengabaikan perspektif keadilan dan kesejahteraan gender.
”Kemajuan secara teknologi luar biasa, canggih dan cepat merespons perubahan serta tega meninggalkan lansekap media konvensional. Perubahan media dari segi lansekap ini mengalami kemajuan besar, namun sangat disayangkan kemajuan itu tidak menyangkut perspektif. Canggih namun tidak pintar, tidak sensitif, egois dan tidak peduli pada keadilan sosial. Canggih secara teknologi tapi kosong secara isi,” tulisnya lagi.
Ia menjelaskan, sudah banyak literatur mengenai keadilan gender, kekerasan terhadap perempuan, kekerasan seksual, dan kemiskinan perempuan yang bertebaran dan bisa diakses publik. Namun, perspektif publik yang bias gender tetap mengakar.
Baca Juga: Jokowi Tawarkan Laos Beli Alat Perang Buatan Indonesia
“Celakanya, banyak media tidak menganggapnya penting, karena ini urusan klasik yaitu menarik pembaca. Terbelakang!” kecam Eko, yang juga bergiat sebagai Chief of Research Polmark Indonesia.
“Apakah tidak pernah membaca, melalukan riset, membaca literatur bahwa soal poligami ini menjadi salah satu persoalan utama bagi kemajuan perempuan dan masyarakat Indonesia umumnya. Berapa banyak perempuan mengalami kekerasan karena poligami? Berapa banyak kasus perceraian yang berujung pada pemiskinan perempuan karena poligami? Adil yang bagaimana yang bisa dilakukan karena poligami?” cecarnya lagi.
Karenanya, menurut Eko, mengumbar beragam informasi maupun artikel poligami sama saja mengumbar kebodohan.
“Saya menyesalkan media justru menjadi (kepanjangan tangan) patriarki. Memujanya dengan menyanjung pelaku poligami dilingkari oleh para bidadari, permisif sebagai jalan keluar. Bagi saya menyorot poligami dalam bingkai postif, adalah kejahatan sosial media, karena mengabaikan keadilan sosial yang berdiri di depan mata,” tandasnya.