Hasil survei lembaga kajian Indikator Politik Indonesia terhadap 1.220 responden menggambarkan mayoritas publik (68,3 persen) puas terhadap kinerja selama tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan survei tersebut tak bisa dijadikan jaminan elektabilitas Jokowi tetap akan tinggi pada pemilu presiden tahun 2019.
"Faktor utama (memilih) tak semata ditentukan kinerja, ini sudah terjadi di (Pilkada) Jakarta," kata Burhanuddin di kantornya, Jalan Cikini V, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (11/10/ 2017).
Burhanuddin mengatakan ada kasus, dimana kehendak warga untuk memilih calon pemimpin tidak berdasarkan kepuasan. Tetapi bisa juga didorong faktor identitas, ideologi yang tidak cocok dengan pemilik suara.
"Pemilih ada yang memilih dengan kepala tapi ada juga yang memilih dengan hati," katanya.
Burhanuddin menyontohkan meskipun banyak orang mengakui kinerja Jokowi, tetapi belum tentu orang Padang memiliki sikap yang sama. Bisa saja mereka tetap tidak puas dan masih ragu memilih Jokowi karena faktor-faktor tersebut.
"Di Minang itu bukan semata urusan kinerja, tapi konsep kepemimpinan yang tidak match misalnya, atau ideologi. Banyak variabel di situ, ini faktornya beragam," kata Burhanuddin.
Burhan kemudian menjabarkan bagaimana motif-motif tertentu sangat berpengaruh terhadap pemilihan Presiden. Misalnya di Amerika Serikat, John F, Kennedy merupakan Presiden pertama yang beragama Katolik sejak negara itu berdiri pada 1776.
Amerika Serikat selalu dipimpin presiden beragama Kristen, tetapi masyarakat di sana juga cerdas, bisa memilih dan memilah. Kristen tak menjadi jaminan untuk naik jadi penguasa. Harus yang benar-benar mayoritas dan punya pengaruh.
"Dari Kristen-pun, yang minor kalah. Ada variabel lain yang tak semata ditentukan rasionalitas," kata Burhanuddin.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan survei tersebut tak bisa dijadikan jaminan elektabilitas Jokowi tetap akan tinggi pada pemilu presiden tahun 2019.
"Faktor utama (memilih) tak semata ditentukan kinerja, ini sudah terjadi di (Pilkada) Jakarta," kata Burhanuddin di kantornya, Jalan Cikini V, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (11/10/ 2017).
Burhanuddin mengatakan ada kasus, dimana kehendak warga untuk memilih calon pemimpin tidak berdasarkan kepuasan. Tetapi bisa juga didorong faktor identitas, ideologi yang tidak cocok dengan pemilik suara.
"Pemilih ada yang memilih dengan kepala tapi ada juga yang memilih dengan hati," katanya.
Burhanuddin menyontohkan meskipun banyak orang mengakui kinerja Jokowi, tetapi belum tentu orang Padang memiliki sikap yang sama. Bisa saja mereka tetap tidak puas dan masih ragu memilih Jokowi karena faktor-faktor tersebut.
"Di Minang itu bukan semata urusan kinerja, tapi konsep kepemimpinan yang tidak match misalnya, atau ideologi. Banyak variabel di situ, ini faktornya beragam," kata Burhanuddin.
Burhan kemudian menjabarkan bagaimana motif-motif tertentu sangat berpengaruh terhadap pemilihan Presiden. Misalnya di Amerika Serikat, John F, Kennedy merupakan Presiden pertama yang beragama Katolik sejak negara itu berdiri pada 1776.
Amerika Serikat selalu dipimpin presiden beragama Kristen, tetapi masyarakat di sana juga cerdas, bisa memilih dan memilah. Kristen tak menjadi jaminan untuk naik jadi penguasa. Harus yang benar-benar mayoritas dan punya pengaruh.
"Dari Kristen-pun, yang minor kalah. Ada variabel lain yang tak semata ditentukan rasionalitas," kata Burhanuddin.