Suara.com - Ernesto Che Guevara—sohib Bung Karno—gemar ‘blusukan’. Saat melakoni aksinya itu, Che tak sekadar meninjau atau memeriksa. Ia tak segan-segan ‘blusukan’ ke belantara hutan, menemui kaum tani Kuba, Angola, dan Bolivia, untuk bersama-sama melawan imperialis dan pemerintah anti-rakyat. Sampai ia sendiri mati saat ‘blusukan’.
Seorang laki-laki paruh baya asal Uruguay bernama Adolfo Mena Gonzalez tiba di La Paz, Bolivia, pada 3 November 1966. Dalam paspornya, ia mengaku sebagai pengusaha. Ia lantas menginap di hotel di kaki Gunung Illimani, dan sempat berfoto "selfie" melalui cermin: kelebihan berat badan, botak, dan sebatang cerutu Kuba terselip di bibirnya.
Persona asli Adolfo tak lama akhirnya terkuak. Orang itu tak lain dan tak bukan adalah Che Guevara, revolusioner dan orang kepercayaan Fidel Castro yang mampu merobohkan Batista, diktator Kuba dukungan Amerika Serikat, pada 8 tahun sebelumnya.
Sohib kental Presiden pertama RI Soekarno ini juga merupakan orang pertama yang berani memberikan kuliah kepada delegasi AS di sidang umum PBB, mengenai Marxisme dan Perang Gerilya untuk mengusir 'Imperialis Yankee". Dia juga merupakan orang yang getol mengekspor Sosialisme ke seantero dunia.
Baca Juga: Aiman Sebut Donald Fariz Tak Sebut Nama Aris Budiman
Sebelas bulan setelah ia "selfie" di hotel kaki Gunung Illimani itu, foto lain dirinya tersebar ke seluruh dunia. Tapi, berbeda dengan penampilan perlentenya saat berswafoto. Kali ini, fotonya menampakkan Che kurus kurang asupan berada di atas tandu. Rambut di kepala dan berewok khasnya panjang tak terawat, matanya tetap terbelalak, meski tak lagi bernyawa.
"Mereka mengatakan dia (Che Guevara) seperti Yesus," kata Susana Osinaga, perempuan berusia 87 tahun pensiunan perawat di Bolivia, seperti dilansir The Guardian, Kamis (5/10/2017).
Susana adalah perawat yang pada 9 Oktober 1967 diperintahkan untuk memotong rambut, berewok, dan membersihkan tubuh Che dari noda darah bekas tembakan para tentara.
"Warga Bolivia kini tetap berdoa untuk Santo Ernesto. Dia mendatangkan keajaiban bagi rakyat," tuturnya.
Senin (9/10) awal pekan ini, tepat 50 tahun kematian Che Guevara. Presiden Bolivia Evo Morales, menggelar acara untuk mengenang orang yang rela meninggalkan kursi kekuasaan sebagai menteri berpengaruh di Kuba, demi membantu rakyat di negara lain agar terbebas dari penjajahan tersebut.
Baca Juga: Kasus Novel Baswedan Delay, Fahri: Ada Banyak yang Seperti Itu
"Meski Che Guevara sudah lama wafat, tapi semangat perjuangannya untuk menentang penjajahan imperialis tetap hidup di hati kami," tuturnya.
Presiden Bolivia Evo Morales saat peringatan 50 tahun wafatnya Che Guevara, Senin (9/10/2017).
Laurence Blair dan Dan Collyns, dua jurnalis The Guardian yang melakukan liputan tentang persiapan peringatan 50 tahun kematian Che Guevara di La Higuera and Santa Cruz, Bolivia, menuliskan dalam artikelnya bahwa tanggal 9 Oktober tak hanya menjadi pal kematian sang revolusioner.
"Tanggal 9 Oktober 1967 itu juga sebagai tonggak kemunduran gerakan Kiri di Amerika Latin, baik yang menggunakan taktik perang gerilya maupun parlementariat," tulis mereka berdua.
Sebab, sejak tahun itu, banyak militer negara-negara di kawasan tersebut yang melakukan kudeta terhadap pemerintahan populis maupun sosial demokratis.
Kudeta militer paling dramatis terjadi di Chile, 11 September 1973. Saat itu, seorang Marxis pertama yang menjadi presiden melalui pemilihan umum, Salvador Allende, terguling dan dibunuh. Ia digulingkan karena meningkatkan anggaran negara untuk pendidikan serta kesehatan rakyat, dan menasionalisasi perusahaan-perusaan asing milik AS.
Baca Blusukan Membawa Maut di halaman 2
Blusukan Membawa Maut
Setelah berhasil meruntuhkan Batista di Kuba, Guevara sempat ditunjuk Fidel Castro mengisi pos sejumlah kementerian. Namun, Che memunyai pemikiran berbeda. Ia ingin kembali membantu negara-negara dunia ketiga lainnya melakukan revolusi nasional.
Jon Lee Anderson, penulis biografi definitif "Che Guevara: A Revolutionary Life" tahun 1997, mengatakan kepada Guardian, terkadang itikad Che tersebut terkesan naif.
"Kalau dipikir-pikir lagi, Anda bisa merasakan kenaifan tertentu; idealisme yang hampir kasar, " kata Jon Lee Anderson.
Namun, Che tetap kukuh membantu rakyat di negeri lain untuk merdeka, seperti yang dilakukannya untuk Kuba.
Ia lantas mencoba masuk ke Kongo tahun 1965. Namun, upayanya untuk masuk dan membantu perjuangan anti-kolonial rakyat Kongo kala itu gagal.
Setelahnya, Che memutuskan untuk pergi ke Bolivia. Niatnya ke sana juga sama saja, menciptakan revolusi.
Namun, Che dan 47 pengikutnya menemui kendala berat segera setelah tiba di daerah Ñancahuazú yang tandus dan berduri. Mereka kehilangan kontak radio dengan Kuba, sehingga segala pasokannya merosot. Mereka juga diganggu penyakit dan ”serangga setan”.
Sementara dalam kelompok gerilyawan yang dibentuknya, terjadi friksi antara pejuang Bolivia dan rekan-rekan Che dari Kuba. Gerilyawan Bolivia seringkali marah kalau mendapat perintah dari kawannya yang merupakan orang Kuba.
Mereka juga mencoba menarik simpati kaum petani setempat. Namun, simpati itu sirna setelah pemerintah Bolivia yang didukung AS gencar mempropagandakan rasa takut terhadap "orang-orang asing bersenjata" untuk merujuk Che dan rekan-rekan Kuba-nya.
AS yang sudah lama mengincar nyawa Che segera mengirim agen CIA dan penasihat militer untuk membantu rezim diktator Bolivia René Barrientos.
Pada tanggal 31 Agustus, sebuah penyergapan tentara menyapu bersih separuh pasukan Che. Sisanya berjalan dengan susah payah ke arah pegunungan dalam usaha putus asa untuk keluar dari jebakan.
Che, yang juga harus melawan asma kambuhannya, mengendarai keledai menuju desa terpencil di La Higuera. Seorang petani yang takut setelah menerima propaganda pemerintah, melaporkannya ke militer.
Setelahnya bisa ditebak, militer Bolivia mengepung Che dan sempat kontak senjata. Satu peluru menghancurkan laras karabin Che.
Dalam kondisi terluka, Che akhirnya menyerahkan diri kepada batalyon yang dilatih oleh pasukan khusus AS, Green Barets. Penyerahan diri Che diterima seorang kapten yang kala itu berusia 28 tahun, Gary Prado.
"Jangan tebak, aku Che. Aku lebih berharga untukmu kalau hidup," kata Guevara kepada Prado saat itu.
Ketika diwawancarai Guardian, Prado mengenang peristiwa tersebut.
"Saya merasa kasihan karena dia terlihat sangat miskin, sangat lelah, sangat kotor," kata Prado. "Anda tidak bisa merasakan dia adalah pahlawan, tidak mungkin."
Prado saat itu menangkap Che dan seorang kompatriotnya, Simeón “Willy” Cuba Sarabia. Willy adalah orang yang memapah Che ke La Higuera.
"Aku sempat memberikan Che makanan, kopi, dan rokok. Kami memperlakukannya dengan penuh rasa hormat. Entah kenapa, saat itu tak ada niat kami memerangi atau membunuhnya, meski dia sudah membunuh tentara," tutur Prado.
Prado menceritakan, Che sempat bertanya apa yang bakal dilakukan tentara terhadap dirinya. Prado lantas menjawab, Che akan dibawa ke pengadilan di Kota Santa Cruz untuk diadili.
"Saat itu ia senang, karena melalui pengadilan, ia merasa bisa mengutarakan ide-idenya mengenai pembebasan rakyat Bolivia," jelas Prado.
Namun, peradilan itu tak pernah terjadi. "Beberapa hari kemudian, aku mendapat perintah berbeda, yakni membunuhnya," imbuh Prado.
Seorang sersan berusia 27 tahun, Mario Terán, mengajukan diri sebagai algojo kematian Che. Detik-detik selanjutnya terdengar dua semburan tembakan senapan mesin.
Setelah ditembak, jasad Che sempat dibawa memakai helikopter ke kota untuk dipamerkan kepada pers internasional. Selanjutnya, jasadnya dikubur di pemakaman tak bernama. 30 Tahun sejak peristiwa itu, makam Che baru terungkap.
Baca warisan Che Guevara di halaman 3
Apa yang Tersisa?
Kini, lubang bekas peluru yang menembus tubuh Che saat dieksekusi mati dijadikan prasasti oleh pemerintah Bolivia mengenai perjuangan Che dan kelompok pembebasannya Guevara’s Ejército de Liberación Nacional (ELN).
Setidaknya, dalam hal yang sangat kecil, kematian Che telah membawa manfaat bagi warga La Higuera Bolivia. Sebab, daerah tersebut kekinian terkenal di dunia internasional sebagai destinasi wisata sejarah Che Guevara.
Puluhan hotel didirikan oleh warga setempat untuk menampung turis yang ingin menelusuri sejarah Che. Beragam festival digelar terutama menjelang hari wafatnya Che.
Tempat eksekusi Che Guevara kini dijadikan museum penghormatan oleh pemerintah Bolivia.
"Kalau Che tak datang ke sini, tak ada satu pun dari kami yang bakal memunyai pekerjaan. Aku melihat Che saat ditangkap dan ditembak tentara. Darah keluar dari kepalanya. Entah kenapa, aku sedih saat itu," tutur Alcides Osinaga (73), warga La Higuera.
Perang gerilya "Focoisme" yang menjadi andalan Che dalam membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan asing dan penindasan pemerintahnya sendiri kini banyak ditinggalkan oleh warga Amerika Latin.
Tentara Revolusioner Kolombia (FARC) yang menjadi kelompok gerilyawan tertua di Amerika Latin, mengakhiri 53 tahun perangnya melawan pemerintah pada awal tahun 2017.
Mereka kekinian bertransformasi menjadi partai politik yang diberi kursi perwakilan di parlemen dan dibolehkan ikut pemilu mendatang.
Gerilyawan Zapatista dengan pemimpin ikoniknya, Subcomandante Marcos, tak lagi meletuskan senapannya sejak Agustus. Sementara gerilyawan Maois di Peru meredup, setelah pemimpin mereka dipenjara.
Sedangkan di Brasil, Uruguay dan banyak negara di Amerika Tengah, banyak mantan pemimpin gerilyawan kiri berubah menjadi politikus dan terpilih sebagai presiden.
Evo Morales, pemimpin Partai Sosialis sekaligus Presiden Bolivia juga merupakan mantan gerilyawan.
"Tapi, meski taktik yang kami pakai berbeda, Che tetap menjadi inspirator bagi rakyat dan pemimpin yang anti-penjajahan imperialis AS dan kaki tangannya di dalam negeri. Che adalah ikon bagi pembebasan nasional dan kebenaran Sosialisme," tegas Morales saat berpidato memerpingati 50 tahun kematian Che, Senin (9/10).
Gonzalo Guzman, pemandu wisatawan di La Higuera asyik berjalan di antara pohon apel, jeruk, alpukat, di jurang yang dulu menjadi medan perang puputan Che, saat diwawancarai jurnalis The Guardian.
Kepada jurnalis, ia membantah perjuangan Che kekinian tak lagi berarti apa pun.
"Kaum imperialis Barat tak bisa menjatuhkan Che. Dia rela meninggalkan tanah airnya untuk berjuang demi rakyat Kuba, Angola, Bolivia melawan penjajahan. Bagi kami, dia tetap seorang pahlawan," tandasnya.