Suara.com - Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo beberapa waktu belakangan acapkali membuat langkah yang mengundang spekulasi.
Misalnya, dia menyebut ada lembaga yang melakukan pengadaan 5.000 senjata dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo. Sebelum itu, Gatot memerintahkan seluruh jajaran TNI menyelenggarakan nonton bareng fil, Pengkhianatan G30S/PKI.
Jauh sebelum itu, menjelang pilkada Jakarta lalu, Gatot mengambil posisi dekat dengan kalangan ormas Islam. Bahkan, Gatot meyakini tidak mungkin ormas Islam akan menjatuhkan Presiden Jokowi.
Spekulasi yang muncul kemudian apakah manuver politik Gatot untuk memanfaatkan momentum sebagai investasi menaikkan daya tawar menjelang pemilu 2019?
Pengamat politik Universitas Paramadina Djayadi Hanan mengatakan dalam dunia politik sangat terbuka kemungkinan muncul pandangan bahwa Gatot tengah membangun daya tawar politik menuju pilpres.
"Mungkin saja. Tapi pernyataan-pernyataannya itu masih terkait keamanan (masih dalam kapasitasnya sebagai Panglima TNI), misalnya soal isu PKI, pengadaan 5.000 senjata. Ternyata pernyataannya soal pengadaan senjata itu kan memang ada, cuma memang terkesan dia terlalu terbuka," kata Djayadi kepada Suara.com, Kamis (5/10/2017).
"Dia pasti punya target (capres atau cawapres 2019). Apakah dia merencanakannya atau tidak, kita tidak tahu. Tetapi di luar sana Gatot punya pendukung," ujar dia.
Menurut Djayadi seorang Panglima TNI tidak boleh melakukan manuver-manuver politik di luar kerangka tugas pokok. Panglima TNI merupakan bawahan Presiden sebagai Panglima Tertinggi.
"Bagaimana pun seorang panglima TNI itu tidak boleh keluar dari kerangka tugasnya, di luar perintah dan arahan Presiden," kata dia.
Menariknya, langkah-langkah Gatot tak ditanggapi Presiden Jokowi, misalnya menegur.
"Tapi dari tindakan Gatot yang kontroversi nggak ada pernyataan presiden yang menegurnya. Misalnya pernyataan Gatot soal nonton bareng film Pengkhiatan G30S/PKI gak ada pernyataan tidak setuju dari Jokowi, justru terlihat didukung Jokowi. Buktinya Jokowi ikut nonton bareng bersama Gatot. Itu menunjukkan tidak ada masalah apa-apa antara dia dengan Jokowi," ujar peneliti Saiful Mujani Research and Consulting.
DNA
Pakar hukum tata Negara Refly Harun mengatakan TNI memiliki hasrat untuk berpolitik sejak lama. Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto menjadi cikal bakal tumbuhnya semangat politik dalam tubuh TNI. Hal itu disampaikan Refly ketika menanggapi isu Panglima TNI bermain politik.
"Jadi begini, ada formal ada sosiologis. Memang DNA TNI ini adalah berpolitik. Kenapa? Karena mereka dididik dalam rezim Orde Baru," kata Refly di gedung LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta.
"Paling tidak selama 32 tahun dia berpolitik, sehingga menghilangkan hal itu susahnya minta ampun. Itu tidak hanya motifnya kekuasaan, tapi juga bisa motifnya yang lain, non kekuasaan seperti ekonomi," Refly menambahkan.
"Kita tahu angkatan darat itu selalu leading di era Orde Baru dan selalu menjadi anak emas pak Harto, sehingga dia punya tradisi yang lebih panjang, yang lebih kuat dan juga lebih besar. Ketiga, dia punya legacy kelompok keagamaan tertentu," kata Refly. [Nikolaus Tolen]