Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting Sirojudin Abbas mengatakan TNI sulit dilepaskan dari dunia politik. Tapi menurut Sirojudin harus dibedakan jenis politik yang tak dilakukan TNI.
Sirojudin menyebutkan dua jenis politik: low politic dan high politic. Low politic berarti politik praktis normal yang berkaitan dengan proses government, politik electoral, kebijakan publik, dan proses kontrol serta pengawasan yang dilakukan legislatif dan eksekutif.
High politic biasanya berkaitan langsung dengan survival dan kelanjutan integritas negara. Mengutip Amien Rais, Abbas menyebut high politic lebih kepada memfokuskan perhatian terhadap stabilitas, keutuhan, dan keanmanan negara.
"Terkait apa yang terjadi saat ini di indonesia, khususnya di militer, saya ingin mengatakan yang dilakukan Panglima TNI menurut saya memang politic, tapi masuk kategori high politic, bukan low politic," kata Abbas dalam acara diskusi berjudul Nasib Reformasi TNI: Apa yang Kau Cari Panglima di D'Hotel, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (5/10/2017).
Abbas kemudian mengutip buku Marcus Mietzner (ISEAS, 2009) berjudul Military Politics, Islam and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation. Buku tersebut menceritakan posisi tentara dalam politik Indonesia sejak kemerdekaan hingga pasca Orde Baru.
Abbas menerangkan buku ini memaparkan tentang empat model keterlibatan dalam politik nasional. Yaitu, guardian, participant-rulers, praetorian, dan referee.
Dalam model guardian, tentara berperan sebagai pengasuh dan penjaga integritas territorial negara. Tentara mengambil peran sentral sebagai pelindung dalam kondisi dimana konflik di dalam pemerintahan dan institusi politik bisa mengancam keutuhan negara. Model ini terjadi selama demokrasi terpimpin di tahun 1950-an.
Dalam model participant-rulers, tentara menempati posisi sebagai bagian pelaksana kekuasaan politik bersama dengan presiden. Hal ini terjadi ketika ada kesaling-tergantungan antara pemerintah dan tentara dalam menghadapi musuh politik bersama di dalam negeri. Model peran militer seperti ini terjadi setelah dekrit presiden tahun 1959 hingga 1965.
Dalam model praetorian, tentara mengambil kontrol dalam semua aspek politik, pemerintahan dan institusi negara. Ini terutama sering terjadi dalam kondisi krisis keamanan dalam negeri yang cukup parah di dalam negeri. Dan tentara mengambil alih untuk mengontrol. Model ini, misalnya, dipilih Jenderal Soeharto pada pasca 1965 hingga awal 1990-an.
Terakhir, model referee, menempatkan peran militer sebagai wasit dalam kompetisi politik yang demokratis. Tentara tetap memiliki posisi penting dalam kompetisi kekuasaan. Namun ia berada di luar arena dan tetap menjalankan fungsi sebagai pencipta keseimbangan dan mediator yang netral bagi para peserta kompetisi. Model terakhir inilah yang didefinisikan sebagai reformasi TNI sejak masa reformasi hingga saat ini.
"Kalau kita lihat posisinya saat ini, TNI masih ada tanggungjawab untuk menempatkan diri dalam konteks politik saat ini yang disebut referee. TNI saat ini harus bisa berperan sebagai penyeimbang, wasit, yang berusaha memastikan permainan di dalam low politic itu tidak mengancam keutuhan negara, kekuatan negara untuk bisa bertahan dan menjaga terotorialnya. Jadi perannya sebagai penyeimbang, kontrol dan wasit," tuturnya.
Fungsi ini yang kemudian dimunculkan Panglima TNI lewat pernyataan dan sikap atas sejumlah isu dalam beberapa bulan terakhir telah memunculkan spekulasi dan kadang kontroversi. Sayangnya, kata dia, spekulasi-spekulasi tersebut menempatkan panglima TNI dalam lingkup low politic.
Misalnya, kehadiran panglima TNI hadir dalam salah satu aksi anti Ahok, perbedaan sikapnya dengan Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam hal tindakan makar sejumlah aktivis politik, dianggap sebagai maneuver untuk meraih simpati pemilih Muslim.
"Itu pandangan yang berkembang. Bahkan, ia mulai dinilai sebagai tokoh politik baru yang mewakili aspirasi Islam," kata dia.
Demikian juga kehadiran Panglima TNI dalam beberapa pertemuan partai. Hal itu banyak yang menilai sebagai manuver untuk menjajaki kendaraan politik masa depan setelah pension dari dinas kemiliteran.
Sirojudin menyebutkan dua jenis politik: low politic dan high politic. Low politic berarti politik praktis normal yang berkaitan dengan proses government, politik electoral, kebijakan publik, dan proses kontrol serta pengawasan yang dilakukan legislatif dan eksekutif.
High politic biasanya berkaitan langsung dengan survival dan kelanjutan integritas negara. Mengutip Amien Rais, Abbas menyebut high politic lebih kepada memfokuskan perhatian terhadap stabilitas, keutuhan, dan keanmanan negara.
"Terkait apa yang terjadi saat ini di indonesia, khususnya di militer, saya ingin mengatakan yang dilakukan Panglima TNI menurut saya memang politic, tapi masuk kategori high politic, bukan low politic," kata Abbas dalam acara diskusi berjudul Nasib Reformasi TNI: Apa yang Kau Cari Panglima di D'Hotel, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (5/10/2017).
Abbas kemudian mengutip buku Marcus Mietzner (ISEAS, 2009) berjudul Military Politics, Islam and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation. Buku tersebut menceritakan posisi tentara dalam politik Indonesia sejak kemerdekaan hingga pasca Orde Baru.
Abbas menerangkan buku ini memaparkan tentang empat model keterlibatan dalam politik nasional. Yaitu, guardian, participant-rulers, praetorian, dan referee.
Dalam model guardian, tentara berperan sebagai pengasuh dan penjaga integritas territorial negara. Tentara mengambil peran sentral sebagai pelindung dalam kondisi dimana konflik di dalam pemerintahan dan institusi politik bisa mengancam keutuhan negara. Model ini terjadi selama demokrasi terpimpin di tahun 1950-an.
Dalam model participant-rulers, tentara menempati posisi sebagai bagian pelaksana kekuasaan politik bersama dengan presiden. Hal ini terjadi ketika ada kesaling-tergantungan antara pemerintah dan tentara dalam menghadapi musuh politik bersama di dalam negeri. Model peran militer seperti ini terjadi setelah dekrit presiden tahun 1959 hingga 1965.
Dalam model praetorian, tentara mengambil kontrol dalam semua aspek politik, pemerintahan dan institusi negara. Ini terutama sering terjadi dalam kondisi krisis keamanan dalam negeri yang cukup parah di dalam negeri. Dan tentara mengambil alih untuk mengontrol. Model ini, misalnya, dipilih Jenderal Soeharto pada pasca 1965 hingga awal 1990-an.
Terakhir, model referee, menempatkan peran militer sebagai wasit dalam kompetisi politik yang demokratis. Tentara tetap memiliki posisi penting dalam kompetisi kekuasaan. Namun ia berada di luar arena dan tetap menjalankan fungsi sebagai pencipta keseimbangan dan mediator yang netral bagi para peserta kompetisi. Model terakhir inilah yang didefinisikan sebagai reformasi TNI sejak masa reformasi hingga saat ini.
"Kalau kita lihat posisinya saat ini, TNI masih ada tanggungjawab untuk menempatkan diri dalam konteks politik saat ini yang disebut referee. TNI saat ini harus bisa berperan sebagai penyeimbang, wasit, yang berusaha memastikan permainan di dalam low politic itu tidak mengancam keutuhan negara, kekuatan negara untuk bisa bertahan dan menjaga terotorialnya. Jadi perannya sebagai penyeimbang, kontrol dan wasit," tuturnya.
Fungsi ini yang kemudian dimunculkan Panglima TNI lewat pernyataan dan sikap atas sejumlah isu dalam beberapa bulan terakhir telah memunculkan spekulasi dan kadang kontroversi. Sayangnya, kata dia, spekulasi-spekulasi tersebut menempatkan panglima TNI dalam lingkup low politic.
Misalnya, kehadiran panglima TNI hadir dalam salah satu aksi anti Ahok, perbedaan sikapnya dengan Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam hal tindakan makar sejumlah aktivis politik, dianggap sebagai maneuver untuk meraih simpati pemilih Muslim.
"Itu pandangan yang berkembang. Bahkan, ia mulai dinilai sebagai tokoh politik baru yang mewakili aspirasi Islam," kata dia.
Demikian juga kehadiran Panglima TNI dalam beberapa pertemuan partai. Hal itu banyak yang menilai sebagai manuver untuk menjajaki kendaraan politik masa depan setelah pension dari dinas kemiliteran.
Belakangan ada yang menarik spekulasi lebih jauh dengan menempatkan Jenderal Gatot seolah berhadapan dengan Presiden. Gatot dinilai sebagai tokoh alternatif selain Prabowo yang berpotensi jadi penantang Presiden Jokowi di pilpres 2019.
"Spekulasi dan interpretasi tersebut mungkin ada benarnya. Namun spekulasi tersebut pada saat yang sama telah mengkerdilkan institusi TNI dan Panglima TNI dan sekaligus menyangsikan kemampuan TNI sebagai wasit yang netral dan adil bagi konsolidasi demokrasi," kata dia.
Padahal, menurutnya, yang sedang dimainkan Panglima TNI adalah politik sebagai wasit dan penjaga keseimbangan kekuatan.
Misalnya, tentang sikap Gatot terhadap aksi anti Ahok dan isu makar telah memberi keseimbangan atas sikap kepolisian yang cenderung dirasa tegas dan "represif." Dengan demikian aktivis politik Islam merasa seolah terlindungi dari tekanan aparat keamanan negara.
Langkah ini diikuti dengan upaya sistematis panglima TNI mendekati tokoh-tokoh dan organisasi-organisasi keagamaan moderat dan partai-partai politik. Pada gilirannya, manuver ini berhasil menurunkan ketegangan dan membawa keseimbangan politik yang baru.
Pendekatan high politics panglima TNI juga ditunjukkan dalam menangani isu kebangkitan PKI. Pada awalnya, isu ini diangkat sejumlah elemen aktivis politik Islam dan diarahkan untuk mendiskreditkan pemerintah. Namun TNI berhasil mengambil alihnya sebagai isu keamanan nasional dan menegaskan kesiagaan TNI.
"Bahkan Presiden turut menegaskan kesiagaan negara dengan turut menonton film G30S PKI. Manuver Panglima TNI ini mengukuhkan rasa aman di tengah masyarakat. Hasilnya, mayoritas terbesar rakyat merasa tidak setuju dengan isu kebangkitan PKI yang dihembuskan berbagai pihak itu," kata dia.
Contoh lain mengenai isu pembelian senjata oleh institusi di luar TNI dan Polri. Kata Abbas, yang dilakukan Panglima adalah langkah pre-emptive action, yaitu sebuah tindakan pendahuluan yang dilakukan sebagai pencegahan dari resiko terjadi akumulasi kekuatan senjata oleh institusi di luar kendalinya.
Meskipun pernyataan Gatot menimbulkan riak, namun target strategisnya untuk menciptakan kesetimbangan kekuatan keamanan sejauh ini bisa tercapai.
"Lihat reaksi dari menhan, menkopolhukam yang langsung mendiamkan dan membuat rekonsiliasi di antara mereka. Jika panglima tni tidak bicara seperti itu mungkin sesuatu yang di luar pemahaman kita, mungkin saja terjadi," kata dia.
Lebih jauh, Abbas mengatakan di bawah kepemimpinan Gatot, menurut survei SMRC TNI selalu mendapat peringkat kepercayaan publik sangat tinggi. Bahkan kepercayaan public terhadap TNI sempat menduduki posisi teratas, sedikit lebih tinggi dari tingkat kepercayaan terhadap institusi kepresidenan.
"Kepercayaan public terhadap TNI selalu lebih tinggi dari kepercayaan terhadap institusi KPK, Peradilan, Kepolisian, Kejaksaan, DPR dan Partai Politik," kata dia.
"Tingginya tingkat kepercayaan public tersebut menjadikan pilihan sikap panglima TNI punya bobot kredibilitas tinggi. Pendapat Jenderal Gatot terhadap suatu isu mudah diterima dan dipercaya publik," kata dia.
"Spekulasi dan interpretasi tersebut mungkin ada benarnya. Namun spekulasi tersebut pada saat yang sama telah mengkerdilkan institusi TNI dan Panglima TNI dan sekaligus menyangsikan kemampuan TNI sebagai wasit yang netral dan adil bagi konsolidasi demokrasi," kata dia.
Padahal, menurutnya, yang sedang dimainkan Panglima TNI adalah politik sebagai wasit dan penjaga keseimbangan kekuatan.
Misalnya, tentang sikap Gatot terhadap aksi anti Ahok dan isu makar telah memberi keseimbangan atas sikap kepolisian yang cenderung dirasa tegas dan "represif." Dengan demikian aktivis politik Islam merasa seolah terlindungi dari tekanan aparat keamanan negara.
Langkah ini diikuti dengan upaya sistematis panglima TNI mendekati tokoh-tokoh dan organisasi-organisasi keagamaan moderat dan partai-partai politik. Pada gilirannya, manuver ini berhasil menurunkan ketegangan dan membawa keseimbangan politik yang baru.
Pendekatan high politics panglima TNI juga ditunjukkan dalam menangani isu kebangkitan PKI. Pada awalnya, isu ini diangkat sejumlah elemen aktivis politik Islam dan diarahkan untuk mendiskreditkan pemerintah. Namun TNI berhasil mengambil alihnya sebagai isu keamanan nasional dan menegaskan kesiagaan TNI.
"Bahkan Presiden turut menegaskan kesiagaan negara dengan turut menonton film G30S PKI. Manuver Panglima TNI ini mengukuhkan rasa aman di tengah masyarakat. Hasilnya, mayoritas terbesar rakyat merasa tidak setuju dengan isu kebangkitan PKI yang dihembuskan berbagai pihak itu," kata dia.
Contoh lain mengenai isu pembelian senjata oleh institusi di luar TNI dan Polri. Kata Abbas, yang dilakukan Panglima adalah langkah pre-emptive action, yaitu sebuah tindakan pendahuluan yang dilakukan sebagai pencegahan dari resiko terjadi akumulasi kekuatan senjata oleh institusi di luar kendalinya.
Meskipun pernyataan Gatot menimbulkan riak, namun target strategisnya untuk menciptakan kesetimbangan kekuatan keamanan sejauh ini bisa tercapai.
"Lihat reaksi dari menhan, menkopolhukam yang langsung mendiamkan dan membuat rekonsiliasi di antara mereka. Jika panglima tni tidak bicara seperti itu mungkin sesuatu yang di luar pemahaman kita, mungkin saja terjadi," kata dia.
Lebih jauh, Abbas mengatakan di bawah kepemimpinan Gatot, menurut survei SMRC TNI selalu mendapat peringkat kepercayaan publik sangat tinggi. Bahkan kepercayaan public terhadap TNI sempat menduduki posisi teratas, sedikit lebih tinggi dari tingkat kepercayaan terhadap institusi kepresidenan.
"Kepercayaan public terhadap TNI selalu lebih tinggi dari kepercayaan terhadap institusi KPK, Peradilan, Kepolisian, Kejaksaan, DPR dan Partai Politik," kata dia.
"Tingginya tingkat kepercayaan public tersebut menjadikan pilihan sikap panglima TNI punya bobot kredibilitas tinggi. Pendapat Jenderal Gatot terhadap suatu isu mudah diterima dan dipercaya publik," kata dia.