Suara.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) khawatir tentara saat ini masih berambisi untuk berpolitik. Di era orde baru TNI bisa berpolitik karena menganut ‘Dwi Fungsi ABRI’.
Kekhawatiran itu didasarkan Kontras dengan berbagas itu keamanan dan politik belakangan ini. Di antaranya isu senjata api illegal, wacana komunis, sampai isu Panglima TNI Gatot Nurmantyo akan berpolitik.
Laporan itu dituangkan dalam catatan KontraS ‘Kado Untuk Hari TNI Ke-72: Tentara Profesional Dalam Tarik Ulur Politik Nasional’ yang diterbitkan, Rabu (4/10/2017) kemarin. Dalam laporan itu juga dituliskan peristiwa respon Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto yang menanggapi pernyataan Gatot soal 5.000 senjata api.
“Pernyataan yang dikeluarkan pada tanggal 22 September 2017, tidak lebih dari 24 jam langsung direspons oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto melalui judul surat terbuka “Penjelasan Menkopolhukam tentang Isu Politik Terkini” yang menjawab setidaknya dua situasi, yakni perihal kembalinya wacana komunisme dan rumor pembelian senjata.”
Baca Juga: Pengganti Jenderal Gatot Seharusnya dari Angkatan Udara
“Jika melihat gestur Wiranto, kami kuat menduga bahwa Presiden Joko Widodo tengah menggunakan suara dan posisi Wiranto selaku Menkopolhukam untuk menjawab suasana kontroversial yang digalang oleh Panglima TNI Gatot Nurmantyo” begitu catatan Kontras.
Kontras pun menyoroti aksi Panglima Gatot yang memiliki sejumlah sepak terjang politik yang terjal dan minim koreksi atas ucapan dan keinginannya untuk bermain-main pada ranah politik. Setidaknya KontraS mencatat sebelum pro kontra pembelian senjata api, retorika Panglima Gatot setidaknya muncul dan menguat pada 8 momentum.
- Mei 2016, Panglima Gatot mengeluarkan analisis bahwa Indonesia akan masuk pada zona proxy war, dengan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia.
- Menjelang hari jadi ke-71, Panglima Gatot meminta untuk dipulihkannya kembali hak berpolitik aparat TNI.
- Gatot hadir bersama dengan ribuan pendemo 212 di akhir tahun 2016. Panglima menggunakan peci putih. Pembelaannya adalah ia hadir di tengah kerumunan massa untuk menjaga kesatuan NKRI dan kepresidenen Joko Widodo.
Baca Juga: Kontroversi Jenderal Gatot, Ini Kata Mantan Panglima TNI
- Februari 2017, Panglima Gatot sempat bersitegang dengan Menteri Pertahanan Jenderal Purn. Ryamizard Ryacudu dengan keluhannya yang mengatakan bahwa dirinya tidak mampu mengelola anggaran matra laut, darat dan udara, karena Peraturan Menteri Nomor 28/2015 mengatakan bahwa kewenangan anggaran pertahanan berada di bawah Menhan.
- Mei 2017, Panglima Gatot berseteru dengan Polri dengan menolak penyelidikan Mabes Polri atas tuduhan makar untuk berbagai gelombang demonstrasi kelompok Islam yang menguat di akhir tahun 2016. Penolakan makar ia sampaikan sebagai upaya untuk mengajak warga tidak takut dengan situasi politik terkini.
- Mei 2017, Panglima Gatot hadir di tengah Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar, membacakan puisi berjudul Tapi Bukan Kami, berisi kritikan kepada pemerintah untuk situasi nasional mutakhir.
- Juni 2017, Panglima Gatot memimpin ibadah tarawih berjamaah di bawah guyuran hujan sebagai bagian dari ‘Silahturahmi safari Ramadhan 2017’ bersama dengan ribuan santri dan ulama.
- Instruksi Panglima untuk melakukan nonton bareng film G30S/PKI yang ternyata tidak hanya diinstruksikan kepada jajaran internalnya, melainkan juga ajakan kepada warga sipil di sekitar markas TNI.
“Setidaknya delapan situasi di atas bisa menggambarkan secara implisit bahwa sebenarnya TNI sebagai aktor masih memiliki ambisi untuk mengembalikan lagi spirit Dwi Fungsi ABRI: Militer yang sibuk berpolitik,” tulis Kontras lagi.
Kontras menilai rentetan kegaduhan politik nasional yang kembali menyeret TNI dalam pusaran gelanggang politik tersebut tidak terlepas dari lemahnya peran sipil dalam upaya pengawasan.
“Dalam hal ini, minimnya upaya koreksi serta evaluasi yang dilakukan oleh Komisi I DPR RI sebagai perwujudan kedaulatan rakyat serta gagalnya Presiden dalam menegakan simbol supremasi sipil, tak pelak menjadi magnet kuat yang menyeret TNI kedalam pusaran politik,” tulis Kontras.