Menanggapi polemik Polri dan TNI menyangkut impor senjata, Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Tubagus Hasanuddin mengusulkan dilakukan perbaikan Undang-Undang yang mengatur kewenangan dua institusi.
Hasanuddin mengatakan dalam UUD 1945 Pasal 30 Ayat 2 dijelaskan sistem pertahanan dan kemananan negara dalam keadaan perang, maka komponen utama adalah TNI dan Polri.
"Komponen utama kombatan kita koreksi itu. Masuk pada UU TNI dan Polri, kita pelajari bareng-bareng," kata Hasanuddin di DPR, Jakarta, Selasa (3/10/2017).
Hasanuddin menilai masih terdapat kekurangan pada peraturan tersebut. Itu sebabnya, kata dia, perlu dikaji ulang serta diperbaiki.
"Misalnya yang standar militer jangan hanya Permen (peraturan menteri) paling tidak standar untuk seluruh Indonesia, untuk militer dan Polri buatkan aturan pemerintahnya," ujar Hasanuddin.
Selain itu, kata dia, sistem koordinasi dan komunikasi di pemerintahan harus diperbaiki. Jika tidak, akan sering terjadi kesalahpahaman antar lembaga pemerintah.
"Pokoknya itu. Pertama, jelas aturan perundang-undangan harus ada perbaikan. Kedua, sistem koordinasi dan komunikasi di pemerintah harus diperbaiki," kata Hasanuddin.
Polemik impor senjata bermula dari pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang menyebut ada institusi yang memesan lima ribu senjata dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo. Hal itu Gatot sampaikan di hadapan para purnawiran TNI di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (22/9/2017).
Pernyataan Gatot diklarifikasi Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto. Menurut Wiranto senjata yang dimaksud oleh Gatot adalah senjata pesanan Badan Intelijen Negara yang dipesan dari PT. Pindad. Jumlah senjata yang akan digunakan untuk pendidikan intelijen tersebut hanya 500 pucuk, bukan lima ribu pucuk.
Pada Jumat (29/9/2017), pesawat asal negara Ukraina tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Pesawat tersebut mengangkut senjata yang diimpor PT. Mustika Duta Mas yang akan didistribusikan ke Brimob Polri.
Senjata yang diketahui berjenis Arsenal Stand Alone Grenade Launcher berjumlah 280 pucuk serta ribuan butir peluru saat ini tertahan di Bandara Soeta sebab belum mendapat izin dari BAIS TNI.
Hasanuddin mengatakan dalam UUD 1945 Pasal 30 Ayat 2 dijelaskan sistem pertahanan dan kemananan negara dalam keadaan perang, maka komponen utama adalah TNI dan Polri.
"Komponen utama kombatan kita koreksi itu. Masuk pada UU TNI dan Polri, kita pelajari bareng-bareng," kata Hasanuddin di DPR, Jakarta, Selasa (3/10/2017).
Hasanuddin menilai masih terdapat kekurangan pada peraturan tersebut. Itu sebabnya, kata dia, perlu dikaji ulang serta diperbaiki.
"Misalnya yang standar militer jangan hanya Permen (peraturan menteri) paling tidak standar untuk seluruh Indonesia, untuk militer dan Polri buatkan aturan pemerintahnya," ujar Hasanuddin.
Selain itu, kata dia, sistem koordinasi dan komunikasi di pemerintahan harus diperbaiki. Jika tidak, akan sering terjadi kesalahpahaman antar lembaga pemerintah.
"Pokoknya itu. Pertama, jelas aturan perundang-undangan harus ada perbaikan. Kedua, sistem koordinasi dan komunikasi di pemerintah harus diperbaiki," kata Hasanuddin.
Polemik impor senjata bermula dari pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang menyebut ada institusi yang memesan lima ribu senjata dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo. Hal itu Gatot sampaikan di hadapan para purnawiran TNI di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (22/9/2017).
Pernyataan Gatot diklarifikasi Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto. Menurut Wiranto senjata yang dimaksud oleh Gatot adalah senjata pesanan Badan Intelijen Negara yang dipesan dari PT. Pindad. Jumlah senjata yang akan digunakan untuk pendidikan intelijen tersebut hanya 500 pucuk, bukan lima ribu pucuk.
Pada Jumat (29/9/2017), pesawat asal negara Ukraina tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Pesawat tersebut mengangkut senjata yang diimpor PT. Mustika Duta Mas yang akan didistribusikan ke Brimob Polri.
Senjata yang diketahui berjenis Arsenal Stand Alone Grenade Launcher berjumlah 280 pucuk serta ribuan butir peluru saat ini tertahan di Bandara Soeta sebab belum mendapat izin dari BAIS TNI.