Suara.com - Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar telah mengabulkan sebagian permohonan praperadilan Setya Novanto, Jumat (29/9/2017), sore. Dengan demikian, status tersangka yang ditetapkan KPK kepada Novanto gugur.
Peneliti Indonesia Corruption Watch Lalola Easter mengapati proses persidangan. Dia menyebut ada enam kejanggalan praperadilan Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Selama proses persidangan praperadilan yang dimulai pada 12 September 2017, KPK dinilai sudah kooperatif menghadirkan 193 bukti untuk menguatkan dasar penetapan Novanto sebagai tersangka, serta ahli-ahli baik di bidang hukum maupun teknologi informasi dalam persidangan.
Namun, kata Lalola, publik harus mencermati keputusan hakim tunggal Cepi Iskandar.
"Hal ini bukan tanpa dasar, karena berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh ICW, paling tidak ada enam kejanggalan dari seluruh proses persidangan yang berlangsung selama satu pekan ini," kata Lalola.
Keenam kejanggalan tersebut adalah:
Pertama, hakim menolak memutar rekaman bukti keterlibatan Novanto dalam korupsi e-KTP.
Pada sidang praperadilan Rabu, 27 September 2017, hakim menolak memutar rekaman KPK sebagai bukti keterlibatan SN dalam korupsi e-KTP. Penolakan ini sangat janggal, karena Hakim berpandangan bahwa pemutaran rekaman tersebut sudah masuk pokok perkara, padahal rekaman pembicaraan tersebut adalah salah satu bukti yang menunjukkan keterlibatan SN dalam perkara korupsi e-KTP.
Dengan dasar rekaman tersebut, KPK menetapkannya sebagai salah satu bukti –yang dibarengi dengan 193 bukti lainnya-, untuk menetapkan SN sebagai tersangka. Di sisi lain, hakim Cepi Iskandar justru membuka ruang pengujian materi perkara dengan menolak eksepsi KPK terkait dengan pembuktian keterpenuhan unsur pada Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, yang menjadi salah satu dalil permohonan praperadilan Novanto. Padahal, pembuktian keterpenuhan unsur Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sudah masuk pada pembuktian pokok perkara, dan tidak sepatutnya disidangkan lewat mekanisme praperadilan.
Kedua, hakim menunda mendengar keterangan ahli dari KPK
Pada 27 September 2017, hakim Cepi menolak Ahli Teknologi Informasi Universitas Indonesia, Bob Hardian Syahbudin sebagai ahli dalam persidangan praperadilan. Alasan Hakim Cepi menolak kehadiran Bob Hardian sebagai ahli adalah, karena materi yang disampaikan pada persidangan sudah masuk pokok perkara pembuktian korupsi e-KTP. Di saat yang sama, Bob Hardian sudah memberikan keterangan tertulis pada proses penyidikan korupsi e-KTP.
Ahli dihadirkan untuk memberi kesaksian terkait dengan temuannya dalam evaluasi sistem teknologi informasi e-KTP. Namun, hakim menolak kehadiran Bob Hardian sebagai ahli, dan dengan demikian menunda pemberian keterangannya.
Ketiga, hakim menolak eksepsi KPK
Hakim Cepi Iskandar menolak eksepsi KPK yang disampaikan pada 22 September 2017. Dalam eksepsinya, KPK menyampaikan dua hal yang menjadi keberatannya yaitu terkait status penyelidik dan penyidik independen KPK dan dalil permohonan Novanto yang sudah memasuki substansi pokok perkara.
Keabsahan dan konstitusionalitas penyelidik dan penyidik independen KPK sudah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 109/PUU-XIII/2015, namun hal tersebut tidak dipertimbangkan oleh Hakim, padahal putusan tersebut mengikat sebagai norma hukum atas peraturan perundang-undangannya yang diuji materilkan.
Selain itu, Hakim Cepi Iskandar juga mengabaikan keterangan KPK yang menyebutkan bahwa dalil permohonan Novanto sudah masuk dalam pokok perkara. Novanto menguji keabsahan alat-alat bukti yang dijadikan dasar untuk menjeratnya sebagai tersangka dugaan korupsi, yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Logika yang sama tidak muncul ketika KPK mengajukan permohonan untuk memperdengarkan rekaman pembicaraan, yang menguatkan dalil keabsahan penetapan Novanto sebagai tersangka.
Keempat, hakim abaikan permohonan Intervensi dengan alasan gugatan tersebut belum terdaftar di dalam sistem informasi pencatatan perkara.
Dalam sidang praperadilan 22 September 2017, Hakim Tunggal Cepi Iskandar mengabaikan permohonan intervensi yang diajukan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia dan Organisasi Advokat Indonesia. Pengabaian tersebut dilakukan dengan alasan gugatan dari para pemohon intervensi belum terdaftar dalam sistem informasi pencatatan perkara.
Keterangan tersebut sungguh janggal, karena berdasarkan penelusuran, MAKI sudah mendaftarkan gugatan sebagai pemohon intervensi sejak 6 September 2017. Gugatan intervensi tersebut sejatinya menguatkan posisi KPK, namun akhirnya tidak diperhitungkan oleh Hakim, padahal permohonan sudah didaftarkan sebelum sidang pertama dilakukan pada 12 September 2017.
Kelima, hakim bertanya kepada ahli KPK tentang sifat adhoc lembaga KPK yang tidak ada kaitannya dengan pokok perkara praperadilan.
Dalam mendengar keterangan dari ahli Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari, Hakim bertanya mengenai sifat adhoc lembaga KPK, padahal tidak ada materi sidang praperadilan yang berkaitan dengan hal tersebut. Pertanyaan ini jelas tidak pada tempatnya, sehingga motivasi Hakim Cepi Iskandar ketika mengajukan pertanyaan tersebut, patut dipertanyakan.
Keenam, laporan kinerja KPK yang berasal dari Pansus dijadikan bukti Praperadilan
Kuasa Hukum SN membawa sejumlah bukti, yang salah satunya adalah LHP BPK Nomor 115/HP/XIV/12/2013 atau LHKP KPK 115, yang pada intinya menjabarkan kinerja KPK selama 10 tahun ke belakang. Dokumen ini diduga diperoleh tanpa melalui mekanisme yang sah, karena dokumen tersebut diduga diperoleh dari Pansus Angket KPK, bukan dari lembaga resmi yang seharusnya mengeluarkan, yaitu BPK.