PSHK Soal Pansus: Pelemahan KPK di Depan Mata

Kamis, 28 September 2017 | 15:49 WIB
PSHK Soal Pansus: Pelemahan KPK di Depan Mata
Rapat Paripurna DPR Ke-6 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2017-2018 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (26/9).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Miko Susanto Ginting menilai temuan panitia khusus hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi yang dilaporkan dalam rapat paripurna DPR, kemarin, penuh dengan konflik kepentingan. Menurut Miko hasil kerja pansus bukan untuk membenahi kinerja KPK.

"Faktor konflik kepentingan dan kesan mencari-cari kesalahan KPK telah tampak begitu kuat dalam kerja-kerja pansus selama ini," kata Miko, Kamis (28/9/2017).

PSHK menilai pembentukan pansus, sejak awal sudah bermasalah. KPK merupakan lembaga independen yang terlepas dari tiga cabang kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). KPK bukan obyek pelaksanaan hak angket DPR.

Miko menyebut sejarah hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat pada awalnya didesain untuk menjatuhkan Perdana Menteri dalam sistem pemerintahan parlementer.

"Perlu dicatat bahwa dalam kaitannya dengan pelaksanaan fungsi pengawasan, UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) telah menyediakan mekanisme-mekanisme pengawasan biasa yang dapat dilakukan oleh DPR, yaitu rapat dengar pendapat, rapat kerja serta rapat konsultasi. Dengan demikian, apabila proses pembentukannya saja sudah bermasalah, maka perpanjangan masa kerja pansus tentu tidak dapat dibenarkan," kata Miko.

Miko tidak sependapat dengan pernyataan pansus terkait posisi Wadah Pegawai KPK dapat mengintervensi kewenangan pimpinan KPK.

Keberadaan Wadah Pegawai KPK, kata Miko, memiliki dasar legitimasi kuat sebagaimana tercantum dalam PP Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen dan Sumber Daya Manusia KPK. Pasal 16 PP tersebut juga mengamanatkan wadah pegawai KPK untuk memiliki Dewan Pertimbangan Pegawai yang bertugas memberikan rekomendasi kepada Pimpinan KPK mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan kepegawaian.

"Artinya, fungsi penyampaian rekomendasi kepada Pimpinan KPK bukan merupakan bentuk melampaui kewenangan karena memang telah dimandatkan oleh PP tersebut untuk dilaksanakan oleh wadah pegawai KPK," katanya.

Itu sebabnya, Miko menduga DPR berusaha menghancurkan keberadaan Wadah Pegawai KPK.

Sebelumnya, Wadah Pegawai KPK mengajukan permohonan pengujian terhadap Pasal 79 ayat (3) UU MD3 terkait keabsahan KPK sebagai obyek pelaksanaan hak angket DPR ke Mahkamah Konstitusi. Apabila MK mengabulkan permohonan itu, pansus angket otomatis akan kehilangan legitimasi.

"KPK menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi dengan cukup optimal. Data berbicara melalui Laporan Tahunan KPK 2016, khusus untuk supervisi dan koordinasi pada bidang penegakan hukum saja, KPK telah menerima 661 Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dari Kejaksaan dan 255 dari Kepolisian. Dalam konteks itu, KPK juga telah melakukan koordinasi terhadap penanganan 163 perkara dan supervisi terhadap 201 perkara. Angka yang sebenarnya jauh melampaui target KPK sendiri," kata Miko.

Menurut Miko jika pansus berniat menguatkan pemberantasan korupsi, maka DPR bisa juga menjalankan pansus untuk mengevaluasi kinerja kepolisian dan Kejaksaan Agung.

"Sementara, upaya praperadilan yang dilakukan oleh Setya Novanto patut diduga akan sangat berkaitan dengan rekomendasi Pansus kelak. Tidak berlebihan jika mengatakan apabila permohonan praperadilan Setya Novanto diterima, maka akan memberikan angin segar kepada Pansus Hak Angket KPK," katanya.

Miko mengatakan pansus tidak dapat dilepaskan dari rangkaian upaya memperlemah KPK.

Sebab, kata dia, tanpa melalui hak angket, sebenarnya DPR bisa melakukan pengawasan terhadap kinerja KPK.

"Kali ini, bersamaan dengan kasus megakorupsi E-KTP yang sedang ditangani KPK dan diduga melibatkan Ketua DPR Setya Novanto, Pansus Hak Angket DPR Terhadap KPK sangat gencar menjalankan tugasnya dan berhasil memperpanjang masa kerjanya. Maka, sulit bagi publik untuk menganggap bahwa kedua peristiwa itu tidak saling terkait," kata Miko.

"Presiden Joko Widodo harus mengupayakan langkah-langkah tegas dan konkret untuk melawan usaha pelemahan KPK, sebagaimana janjinya dalam Nawacita untuk terus menguatkan KPK dan upaya pemberantasan korupsi," Miko menambahkan.

Temuan pansus

Ketua pansus Agun Gunandjar Sudarsa dalam laporan, kemarin, menjelaskan pansus telah mendapatkan empat fokus penyelidikan yaitu aspek kelembagaan, kewenangan, tata kelola Sumber Daya Manusia, dan tata kelola anggaran di KPK.

Dalam aspek kelembagaan, ia menjelaskan pansus menilai KPK gagal dalam memposisikan diri sebagai lembaga supervisi dan koordinasi pemberantasan tindak pidana korupsi karena tidak mampu membangun kerja sama yang baik dengan kepolisian dan Kejaksaan Agung.

"Koordinasi dengan Kepolisian dan Kejaksaan tidak berjalan baik dan terjadi kemandekan supervisi karena laporan dari Kejaksaan tidak ditindak lanjuti KPK," ujarnya.

Agun mengatakan pansus menemukan dugaan pelanggaran aturan dalam mengumpulkan alat bukti dan ada saksi yang harus mengikuti keinginan penyidik KPK.

Ia mengatakan beberapa berita acara penyidikan dalam penanganan kasus di KPK "pernyataan saksinya direkayasa" dan menuduh KPK tidak menghiraukan fakta-fakta persidangan serta melakukan penggiringan opini publik.

"Lalu manajemen barang sitaan dalam KUHAP, penyitaan tindak pidana korupsi harus ditempatkan ke Rupbasan namun KPK malah membentuk unit sendiri yaitu Unit Alat Bukti dan Eksekusi atau Labuksi," katanya.

Agun mengatakan Pansus belum membuat kesimpulan dan rekomendasi karena KPK belum hadir dalam Rapat Pansus sehingga tidak adil kalau Pansus membuat kesimpulan dan rekomendasi tanpa konfirmasi dari KPK.

REKOMENDASI

TERKINI