Komisi Pemberantasan Korupsi akan menghadirkan ahli hukum pidana dan ahli hukum acara pidana pada sidang praperadilan tersangka Setya Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (27/9/2017). Itu dilakukan KPK setelah pada Selasa (26/9/2017) Novanto menghadirkan ahli ahli untuk didengarkan keterangannya dalam persidangan yang dipimpin hakim tunggal Cepi Iskandar.
"Minimal ada dua, saru ahli hukum pidana, satu lagi ahli hukum acara pidana," kata Kepala Biro Hukum KPK Setiadi di PN Jakarta Selatan.
Setiadi tidak menjelaskan siapa dua ahli yang siap memberikan keterangan dalam persidangan keenam ini. Dia masih marahasiakan nama-namanya, dan meminta untuk menyaksikan sendiri dalam persidangan.
Baca Juga: Sidang Praperadilan Novanto, KPK Siap Hadirkan 2 Ahli
"Sebenarnya ada lebih dari itu, tapi yang baru bisa kami sampaikan hanya dua," katanya.
Sebelum menghadirkan ahli, KPK terlebih dahulu akan menyampaikan bukti tambahan kepada hakim. Sebab, pada sidang Senin (25/9/2017) lalu, bukti tersebut belum diserahkan.
Sebelumnya Setiadi mengatakan pada sidang hari ini, KPK akan membuka bukti rekaman elektronik terkait komunikasi Novanto dengan berbagai pihak. Selain itu, akan ditampilkan juga foto-foto yang didapat dari handphone, laptop dan e-mail, yang berisi pertemuan Npvanto dengan pihak-pihak yang diduga terlibat dalam kasus korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik.
Sebelumnya, tim pengacara Novanto sebagai pihak pemohon telah mengajukan tiga ahli hukum dalam sidang. Mereka adalah Guru Besar Hukum Adminisitrasi Negara Universitas Padjajaran, I Gde Panca Astawa, pakar Hukum Pidana dari Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita, dan Pakar Hukum Acara Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda.
Setya Novanto mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka oleh KPK pada kasus korupsi E-KTP. Dia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 17 Juli 2017 lalu.
Baca Juga: Sempat Rapat Tertutup, DPR dan KPK Cuma Bahas Tanding Futsal?
Ketua Umum Partai Golkar itu diduga menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dan menyalahgunakan kewenangan dan jabatan, pada kasus E-KTP. Novanto sewaktu menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR diduga ikut mengatur agar anggaran proyek E-KTP senilai Rp5,9 triliun disetujui oleh anggota DPR.