Empat Aspek Temuan Pansus Angket KPK

Selasa, 26 September 2017 | 14:44 WIB
Empat Aspek Temuan Pansus Angket KPK
Rapat Paripurna DPR Ke-6 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2017-2018 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (26/9).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Rapat paripurna DPR menyetujui laporan panitia khusus hak angket terkait tugas dan kewenangan KPK, Selasa (26/9/2017).

Laporan ini merupakan merupakan hasil 60 hari kerja pansus, namun belum mencakup rekomendasi akhir.

"Sesuai dengan Pasal 206 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, maka perkenankan kami melaporkan beberapa hasil temuan-temuan yang signifikan dari fungsi penyelidikan kami agar rakyat juga dapat mengetahui hasil temuan kami sebagai wujud transparansi dan akuntabilitas kinerja panitia angket ini," kata Ketua pansus Agun Gunandjar dalam pidato penyampaian laporan.

Agun memaparkan sejumlah aspek yang menjadi fokus pansus, yaitu  kelembagaan, kewenangan, anggaran, dan tata kelola sumber daya manusia.‎

Aspek Kelembagaan 

Koordinasi dan supervisi tidak terbangun dengan baik yang cenderung KPK memposisikan dirinya terbebas, lepas dan berjalan sendiri menjadi superbody yang bekerja tanpa adanya koordinasi dan supervisi. Kedudukan dan peran KPK yang sehamsnya mengedepankan koordinasi dan supervisi sebagai tugas utamanya, terbukti telah gagal terlaksana. Koordinasi dengan Kepolisian dan Kejaksaan belum dapat terbangun dengan baik, bahkan KPK tidak mengikuti MoU yang dibuatnya sendiri dengan Kepolisian dan Kejaksaan dalam hal penanganan korupsi. Kegiatan Supervisi jelas telah mengalami kemandekan, terbukti dengan pernyataan Kejaksaan yang memperlihatkan bahwa supervisi KPK terhadap penanganan kasus tidak pernah terjadi. 

Peran KPK sebagai trigger mechanism juga tidak berjalan karena didapatkan sejumlah laporan yang dijalankan oleh Kepolisian dan Kejaksaan yang tidak ditindaklanjuti oleh KPK, bahkan yang terjadi terdapat kompetisi atau persaingan diantara penegak hukum. Dalam hal ini, KPK bahkan bergerak sendiri tanpa diikuti dengan penguatan ataupun dukungan keplada Kepolisian dan Kejaksaan. Padahal dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, KPK selalu dibantu oleh Kepolisian. Namun keterlibatan Kepolisian disini bukan untuk pemberantasan korupsi secara substantif melainkan hanya sebagai pengamanan prosedural saja. 

KPK memperluas makna independen kelembagaannya yang sesungguhnya independen itu terbatas pada menjalankan tugas dan kewenangannya dan bukan berarti KPK menjadi independen dalam semua hal, seperti dalam Standard Operational Procedure penanganan perkara yang tidak mengacu kepada KUHAP tapi hanya kepada SOP. Demikian pula terkait dengan perlindungan saksi dan korban yang tidak mengacu kepada Undang-Undang tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Selain itu dengan argumentasi independensinya mengelola barang sitaan melalui unit LABUKSI. Dengan memperluas makna dari “independen” kelembagaan tersebut, KPK bergerak tanpa mekanisme pengawasan dan kontrol yang mengedepankan prinsip ketatanegaraan yang baik. Hal ini menjadikan KPK melaksanakan tugas dan kewenangannya melebihi dari apa yang telah diatur dalam undang-undang. 

Tidak terbangun sinergitas yang harmoni diantara sesama lembaga negara dan lembaga pemerintah yang terjadi sebatas penandatanganan MoU dengan lembaga negara dan lembaga pemerintah, lembaga penegak hukum serta organisasi kemasyarakatan, bahkan juga didapatkan pelanggaran atas MoU yang ditandatangani. 
 
Dari aspek kelembagaan dan supervisi ini, yang seharusnya KPK menjadi contoh dan teladan bagi berbagai lembaga negara, pemerintahan dan penegakan hukum, dalam kenyataannya justru mempertontonkan kewenangan yang supreme dengan tidak menghargai dan menghormati lembaga-lembaga tersebut sebagai pihak yang dikoordinasikan dan disupervisi. 
 
 Aspek Kewenangan
 
Ketidakpatuhan KPK terhadap peraturan perundang-undangan kerap terjadi. KPK cenderung melenceng dari KUHAP dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya, bahkan KPK melanggar dari ketentuan, peraturan, ataupun kesepahaman yang dibuat atau ditandatangani sendiri. Hal ini terbukti dengan beberapa temuan Pansus Angket KPK, seperti MoU penanganan korupsi yang dibuat bersarna Kepolisian dan Kejaksaan, temtama dalam menangani kasus yang melibatkan penegak hukum, tidak berjalan sebagaimana telah disepakati atau digunakan hanya untuk pencitraan diatas secarik kertas saja. 
 
Selain itu, banyaknya pelanggaran prosedur hukum acara yang seharusnya menjadi acuan seringkali terjadi di lapangan. Masyarakat pencari keadilan seringkali melaporkan bahwa KPK kerap melanggar hak asasi manusia dan hak warga negara di muka hukum. Prosedur hukum dan upaya paksa seperti penyitaan, penggeledahan, dan penahanan seringkali melanggar Hukum Acara Pidana. KPK juga sering menetapkan seseorang menjadi tersangka dengan jangka waktu yang melebihi batas yang diatur dalam prosedur hukum acara, padahal KPK tidak memiliki kewenangan untuk menghentikan penyidikan, sehingga KPK harus benar-benar yakin bahwa seseorang tersebut dapat dijadikan tersangka dengan alat bukti yang cukup kuat untuk dapat dilimpahkan ke persidangan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan. 
 
Pansus angket ini juga menemukan bahwa KPK seringkali melanggar ketentuan dalam pengurnpulan alat bukti bahkan diduga KPK memaksa dengan melakukan rekayasa alat bukti, seperti Alat Bukti Saksi sebagaimana pengakuan saksi NPT (Niko Panji Tirtayasa) yang menyatakan bahwa dirinya diintimidasi dan diiming-imingi reward untuk mengikuti kemauan penyidik dalam 
membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Selain itu, banyak BAP Saksi di berbagai kasus seperti dalam perkara korupsi ME, AM, SDA, JW, SFS dan lain-lain yang pernyataan saksinya diintimidasi dan terkesan direkayasa sehingga terjadi pertentangan satu sama lain. Bahkan kemudian fakta-fakta di persidangan tidak dihiraukan sama sekali karena penggiringan opini di ruang publik lebih dikedepankan oleh KPK, seperti BAP dan dokumen rahasia lainnya yang juga seringkali bocor ke media sebelumnya. 
 
Adanya pelanggaran HAM dengan penggunaan kekerasan flsik pada saat melakukan tugas dan kewenangannya untuk menangkap seseorang yang terjadi pada Saudara AAB (Amran Abdullah Batalipu); yakni melebihi dari apa yang seharusnya, misalnya dengan penggunaan senjata api. 
 
Penggunaan Operasi Tangkap Tangan KPK yang tidak sesuai dengan Pasal 1 butir 19 KUHAP, sehingga OTT KPK secara hukum dapat dikatakan tidak sah karena belum memiliki payung hukum yang jelas agar dapat menjadi proses hukum yang sah. OTT ini hanya sebagai alat oleh KPK untuk menciptakan opini publik seperti layaknya suatu drama dan menjadi tolok ukur keberhasilan kinerja KPK. Padahal nyata-nyata OTT ini tidak berpengaruh secara signifikan dalam penyelamatan keuangan negara. 
 
Proses Penyadapan sebagaimana telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (Putusan MK No. 5/PUU-VIII/2010) dan UU Nomor 19 Tahun 2016 yang mengatur bahwa penyadapan harus diatur dalam peraturan tersendiri. Namun seringkali diduga kewenangan penyadapan ini malah disalahgunakan untuk kepentingan tersendiri, yakni untuk proses penjebakan, penggiringan opini publik, sampai menjadi alat bukti di persidangan, padahal diketahui belum ada peraturan yang mengatur mengenai keabsahannya. Penyadapan juga dilakukan oleh KPK terhadap seseorang tanpa batasan waktu, kapan penyadapan dimulai dan kapan penyadapan tersebut berakhir; karena belum adanya peraturan yang jelas mengenai penyadapan. Hal ini menunjukkan betapa KPK nyata-nyata melanggar Hak Asasi Manusia. 
 
Mengenai manajemen barang rampasan dan sitaan sebagaimana diatur dalam KUHAP, Peraturan Pemerintah Nomor 27 T ahun 1983 sebagaimana diubah dengan PP Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dan Peraturan Bersama Nomor 2 Tahun 2011 antara KPK dengan Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, KaKepolisian, Kejaksaan Agung tentang Sinkronisasi Ketatalaksanaan Sistem Pengelolaan Benda Sitaan Negara Dan Barang Rampasan Negara; yang mengatur bahwa pengelolaan Barang Rampasan dan Sitaan terkait Tindak Pidana seharusnya dilakukan bersama RUPBASAN. Namun KPK selama ini justru membentuk Unit sendiri (LABUKSI) yang datanya tidak terkoordinasi dan tersinkronisasi dengan data di RUPBASAN. Selain jelas melanggar ketentuan, persoalan ini diduga menimbulkan potensi penyalahgunaan kewenangan untuk kepentingan pribadi oknum-Oknum yang tidak bertanggungjawab. Hal ini menunjukkan sifat non~akuntabilitas KPK dalam mengelola barang rampasan dan sitaan yang menjadi milik negara. 
 
KPK juga menafsirkan sendiri mangenai kewenangan eksekusi yang tidak sama sekali diatur kewenangan KPK di dalam ketentuan. UU KPK tidak mengatur mengenai kewenangan Jaksa KPK untuk melakukan eksekusi. Bahkan di dalam KUHAP dan UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan mengatur bahwa kewenangan eksekusi hanya pada institusi jaksa. 
 
Panitia Angket juga menemuk‘an bahwa tidak ada koordinasi yang sinergis antara KPK dan LPSK dalam menjalankan program perlindungan Saksi dan Korban yang seharusnya menjadi tugas dan kewenangan LPSK, seperti hak seorang Saksi dan penggunaan Safe House yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. KPK terkesan berjalan sendiri dan menimbulkan potensipenyalahgunaan kewenangan.
 
Perlunya evaluasi terhadap kewenangan KPK sebagaimana diatur dalam PP Nomor 99 Tahun 2012, khususnya yang mengatur mengenaj Justice Collaborator (Saksi Pelaku) yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum; yang seharusnya bukan menjadi kewenangan KPK maupun aparat penegak hukum sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Definisi JC ini terkesan juga didefinisikan berbeda oleh KPK. Sehingga kewenangan ini perlu dievaluasi karena melanggar Hak Asasi Manusia, khususnya Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. 

Dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya, KPK juga diduga seringkali menyalahgunakan kewenangan (abuse of power) dalam hal terjadi pertentangan kepentingan (conflict of interest) dalam penanganan kasus. Sebagaimana ditemukan dalam penanganan perkara seperti kasus Bupati Sabu Rai Jua, NTT, Kementerian PUPR, dan Kasus Probosutedjo, yang diduga terjadi adanya kedekatan tersendiri dan permintaan sejumlah uang yang tidak jelas atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. 
 
Aspek anggaran

Dari hasil konflrmasi terhadap temuan BPK, yakni berdasarkan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan KPK Tahun 2006-2016, terdapat 47 rekomendasi yang belum sesuai dan 11 rekomendasi belum ditindaklanjuti. Khusus pada tahun anggaran 2015 terdapat beberapa temuan yang signifikan, antara lain; 

Adanya kelebihan Gaji Pegawai KPK yakni pembayaran terhadap pegawai yang melaksanakan tugas belajar berupa living cost namun gaji masih dibayarkan sebesar Rp748,46 juta. 

Realisasi belanja perjalanan dinas biasa tidak sesuai ketentuan minimal sebesar Rp1,29 miliar. 

Perencanaan pembangunan gedung KPK yang tidak cermat sehingga terdapat kelebihan pembayaran Rp 655,30 juta (volume beton). 

Selain itu, menurut BPK pada tahun anggaran 2016 terdapat juga beberapa temuan yang signifikan, antara lain: 

Aturan pengangkatan pegawai tetap KPK yang telah memasuki batas usia pensiun tidak sesuai dengan PP Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi. Sedangkan Dalam Peraturan KPK Nomor 05 Tahun 2017 menyatakan bahwa BUP adalah 58 tahun, Oleh karena itu terdapat 4 pegawai yang tidak dipensiunkan walaupun telah melewati usia 56 tahun. 

REKOMENDASI

TERKINI