Suara.com - Pengacara Komisi Pemberantasan Korupsi keberatan dengan bukti tambahan yang diajukan kuasa hukum tersangka Setya Novanto dalam sidang praperadilan ketiga di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa (26/9/2017).
Bukti tambahan yang dimaksud berupa Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan terkait kinerja KPK pada tahun 2016. Bukti tersebut didapatkan kuasa hukum Novanto dari DPR, bukan langsung dari BPK.
“Itu produk BPK yang diserahkan ke DPR. Kemudian apakah ada surat yang memberikan keterangan itu bisa digunakan dalam sidang praperadilan. Jangan sampai rancu, ini sidang praperadilan yang masuk wilayah yudikatif, bukan legislatif,” kata pengacara KPK Setiadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Menurut dia, pembahasan di legislatif mestinya tidak masuk dalam ranah yudikatif. Itu sebabnya, tim pengacara KPK akan menolak LHP BPK sebagai bukti tambahan. Ia berharap hakim tunggal Cepi Iskandar menolak bukti tersebut.
Sementara itu, kuasa hukum Novanto, Ketut Mulya Arsana, mengakui LHP didapatkan setelah mengajukan surat ke Ketua DPR dan Ketua Panitia Khusus Hak Angket DPR terhadap KPK.
Lagi pula, kata Ketut, LHP sudah merupakan konsumsi publik karena sudah dibahas dalam rapat dengar pendapat di DPR dan telah dimuat di sejumlah media massa.
"Bagaimana proses internal di mereka itu adalah masalah internal meraka. Sah atau tidak kami kembalikan pada yang mulia," ujar Ketut.
Dengan menghadirkan LHP BPK, Ketut ingin mempertegas standard operating procedure tentang pengangkatan penyidik KPK. Poin ini merupakan salah satu keberatan bagi Novanto ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana proyek e-KTP oleh KPK.
"Kita mau mempertegas poin tentang pengangkatan penyidik. Yang sesuai permohonan dalil, kita perkuat itu saja," kata Ketut.