Isu pembelian 5000 pucuk senjata oleh institusi non militer, rencana penyerbuan ke BIN dan Polri yang disampaikan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dinilai pelanggaran serius Pasal 3 dan Pasal 17 UU 34 tahun 2004 tentang TNI yang menegaskan kebijakan pengerahan dan penggunaan angkatan perang adalah otoritas sipil. Selain itu, menyampaikan informasi intelijen di ruang publik yang dilakukan Panglima TNI juga menyalahi kepatutan, karena tugas intelijen adalah hanya mengumpulkan data dan informasi untuk presiden.
“Pernyataan Panglima TNI menunjukkan teladan buruk bagi prajurit yang justru selama ini didisiplinkan untuk membangun relasi yang kuat dan sehat dengan institusi Polri, akibat tingginya frekuensi konflik antardua institusi ini. Alih-alih menjadi teladan, Panglima TNI justru membawa prajurit TNI dalam konflik kepentingan serius yang hanya menguntungkan diri Panglima TNI, yang sepanjang Bulan September ini terus mencari perhatian publik dengan pernyataan-pernyataan permusuhan, destruktif, dan di luar kepatutan seorang Panglima TNI,” kata Ketua Setara Institute Hendardi, dalam rilis yang diterima Suara.com, Minggu (24/9/2017).
Untuk itu, Hendardi meminta kapad Presiden Jokowi mesti berhati-hati mengambil sikap atas Panglima TNI. Karena Panglima TNI sedang mencari momentum untuk memperkuat profil politik bagi dirinya, maka tindakan atas Gatot Nurmantyo haruslah merupakan tindakan normatif dan biasa-biasa saja, sehingga cara-cara politik yang tidak etis yang sedang diperagakannya secara perlahan menjadi layu sebelum berkembang.
Hendardi mencatat, selain membuat pernyataan yang tidak tepat, Panglima TNI juga dinilai berlebihan salam menghembuskan isu PKI, pemutaran film G30SPKI, perang pernyataan dengan Menteri Pertahanan, pengukuhan diri sebagai Panglima yang bisa menggerakkan dan memerintahkan apapun pada prajuritnya, adalah akrobat politik Panglima TNI yang sedang mencari momentum politik untuk mempertahankan eksistensinya jelang masa pensiun.
Panglima TNI bermanuver dengan mencari musuh-musuh baru, bukan untuk tujuan kepentingan bangsa tetapi untuk kepentingan politik jangka pendek bagi dirinya. Perintah Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo kepada jajarannya untuk memutar film G30S PKI menggambarkan perspektif dan sikap politik Panglima TNI atas peristiwa kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada 1965-1966. “Alih-alih mendukung rencana pemerintah yang berencana menggali kebenaran persitiwa tersebut, Gatot justru bersikap sebaliknya mempromosikan kebencian kepada orang-orang yang dituduh PKI di masa lalu, meskipun hingga kini kebenaran peristiwa tersebut belum terungkap,” kata dia.
Menurut Hendardi, film G30S PKI adalah film indoktrinatif yang diproduksi oleh Orde Baru untuk membenarkan tindakan penguasa baru itu menciptakan stabilitas politik pada masanya. Film tersebut juga menjadi instrumen menyebarkan kebencian, stigma, dan diskriminasi permanen pada orang-orang yang dituduh sebagai PKI. Di sisi lain, pasca Orde Baru, muncul banyak versi tentang peristiwa tersebut. Bahkan pemerintah telah berencana untuk melakukan pengungkapan kebenaran dan keadilan atas peristiwa yang sesungguhnya. Jadi, rencana pemutaran film yang digagas oleh Panglima TNI hanyalah model dan cara Orde Baru untuk menanamkan kebencian tanpa reserve, tanpa interupsi, meskipun yang disuguhkan adalah peristiwa yang belum jelas kebenarannya. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya pemutaran film tersebut tidak lagi dilakukan.
Di tengah upaya pemerintah yang berencana mengungkap kebenaran dan keadilan atas peristiwa kemanusiaan tersebut, Jokowi semestinya bisa mendisiplinkan seluruh elemen di bawah tanggung jawabnya untuk tidak membuat kegaduhan yang dapat menciptakan instabilitas politik dan keamanan. Dan yang paling utama, Jokowi menyegerakan upaya-upaya pengungkapan kebenaran dan keadilan atas pelanggaran HAM di 1965 tersebut. Dalam Nawacita, Jokowi-JK berjanji akan membentuk Komisi Kepresidenan Pengungkapan Kebenaran pelanggaran HAM masa lalu, termasuk peristiwa 1965.
“Cara Gatot Nurmantyo memimpin TNI adalah yang terburuk sepanjang era reformasi. Bukan karena melakukan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan secara terbuka, tetapi karena membawa kembali TNI berpolitik bahkan dengan mengorbankan koeksistensi antarinstitusi negara seperti Polri, BIN, dan Kemenhan,” kata Hendardi.