Purnawirawan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Rilo Pambudi mengungkapkan pernah meminta pemerintah Orde Baru agar jangan memutar film Pengkhianatan G30S/PKI. Sekarang, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo justru memerintahkan kepada seluruh jajaran TNI untuk memutar film G30S/PKI.
"Saya bersama Pak Saleh Basarah (mantan KSAU) menghadap setneg (Sekretaris Negara Moerdiono) mohon kalau bisa nggak usah lagi diputar," ujar Rilo di dalam forum silaturrahim Panglima TNI bersama para purnawirawan TNI di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (22/9/2017).
Rilo tidak menjelaskan secara detail pembicaraannya dengan Moerdiono. Namun, banyak hal yang menjadi keberatan TNI AU agar film yang menceritakan pembunuhan tujuh jenderal tersebut tidak diputar.
Alasan yang disampaikan Rilo diterima dan penayangan film pun berhenti pada tahun 1995.
Menanggapi Rilo, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengaku sudah mengakomodir keluhan TNI AU terkait pemutaran kembali film Pengkhianatan G30S/PKI pada 30 September nanti. Film tersebut sudah diedit menjadi lebih pendek agar tidak menyudutkan TNI AU.
"Film G30S/PKI itu sudah kita diedit sedemikian rupa dan menjadi tinggal 1 jam. Sebelumnya kan itu 4 jam ya," kata Gatot.
Gatot mengatakan film karya Arifin C. Noer diedit mantan Kadispenad Hotmangaraja Pandjaitan. Film itu diedit sedemikian rupa sehingga hanya fakta-fakta sejarah lah yang dimunculkan saja.
"Jadi tidak akan menyudutkan ke mana-mana," kata Gatot.
Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari meminta Gatot Nurmantyo jangan hanya menginstruksikan pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI, tetapi juga film-film sejarah versi lain, seperti Jagal, Senyap, dan The Year of Living Dangerously. Dengan demikian ada keseimbangan pengetahuan di masyarakat.
"Panglima harus fair, jangan hanya versi propaganda Orba yang boleh diputarin (G30S/PKI), tapi juga versi-versi yang lain. Jagal dan Senyap juga, termasuk film Mel Gibson yang Living Dangerously Years itu. Termasuk mendukung film-film sejenis untuk generasi millenial, seperti usulan Presiden," kata Eva, Rabu (20/9/2017).
Film Jagal (2012), Senyap (2014), dan The Year of Living Dangerously (1982), merupakan film yang menceritakan tentang peristiwa periode tahun 1965. Film Jagal menceritakan algojo yang melakukan pembantaian. Film The Year of Living Dangerously bercerita mengenai situasi Jakarta kala itu.
Menurut Eva jika Panglima TNI hanya menginstruksikan jajaran TNI memutar satu film versi Orde Baru, maka kemudian timbul kesan politis. Padahal, kata Eva, TNI tidak boleh berpolitik dalam hal apapun.
"Jangan hanya endorse satu versi, kan jadinya politik. Sementara TNI kan tupoksinya tidak terkait politik. Kita mencerdaskan bangsa secara sungguh-sungguh. Jadikan rakyat cerdas, nalar jadi panjang, analisa data jadi jalan," ujar anggota Komisi I DPR.
Dia menambahkan TNI harus progresif menatap tantangan masa depan, bukan malah mengurusi PKI yang sebenarnya sudah tidak ada. Saat ini banyak ekstremis berdalih agama yang banyak melakukan teror dan menurut Eva itulah yang harus jadi konsentrasi.
"TNI harus progresif, menatap ke depan karena tantangan keamanan bukan hanya PKI yang tinggal wacana, tapi ekstrimisme agama yang sudah meledakkan banyak bom malah nggak dianggap ancaman. Ada film Jihad Selfie tuh, lebih relevan diputar secara massal karena kontekstual," kata Eva.
"Saya bersama Pak Saleh Basarah (mantan KSAU) menghadap setneg (Sekretaris Negara Moerdiono) mohon kalau bisa nggak usah lagi diputar," ujar Rilo di dalam forum silaturrahim Panglima TNI bersama para purnawirawan TNI di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (22/9/2017).
Rilo tidak menjelaskan secara detail pembicaraannya dengan Moerdiono. Namun, banyak hal yang menjadi keberatan TNI AU agar film yang menceritakan pembunuhan tujuh jenderal tersebut tidak diputar.
Alasan yang disampaikan Rilo diterima dan penayangan film pun berhenti pada tahun 1995.
Menanggapi Rilo, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengaku sudah mengakomodir keluhan TNI AU terkait pemutaran kembali film Pengkhianatan G30S/PKI pada 30 September nanti. Film tersebut sudah diedit menjadi lebih pendek agar tidak menyudutkan TNI AU.
"Film G30S/PKI itu sudah kita diedit sedemikian rupa dan menjadi tinggal 1 jam. Sebelumnya kan itu 4 jam ya," kata Gatot.
Gatot mengatakan film karya Arifin C. Noer diedit mantan Kadispenad Hotmangaraja Pandjaitan. Film itu diedit sedemikian rupa sehingga hanya fakta-fakta sejarah lah yang dimunculkan saja.
"Jadi tidak akan menyudutkan ke mana-mana," kata Gatot.
Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari meminta Gatot Nurmantyo jangan hanya menginstruksikan pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI, tetapi juga film-film sejarah versi lain, seperti Jagal, Senyap, dan The Year of Living Dangerously. Dengan demikian ada keseimbangan pengetahuan di masyarakat.
"Panglima harus fair, jangan hanya versi propaganda Orba yang boleh diputarin (G30S/PKI), tapi juga versi-versi yang lain. Jagal dan Senyap juga, termasuk film Mel Gibson yang Living Dangerously Years itu. Termasuk mendukung film-film sejenis untuk generasi millenial, seperti usulan Presiden," kata Eva, Rabu (20/9/2017).
Film Jagal (2012), Senyap (2014), dan The Year of Living Dangerously (1982), merupakan film yang menceritakan tentang peristiwa periode tahun 1965. Film Jagal menceritakan algojo yang melakukan pembantaian. Film The Year of Living Dangerously bercerita mengenai situasi Jakarta kala itu.
Menurut Eva jika Panglima TNI hanya menginstruksikan jajaran TNI memutar satu film versi Orde Baru, maka kemudian timbul kesan politis. Padahal, kata Eva, TNI tidak boleh berpolitik dalam hal apapun.
"Jangan hanya endorse satu versi, kan jadinya politik. Sementara TNI kan tupoksinya tidak terkait politik. Kita mencerdaskan bangsa secara sungguh-sungguh. Jadikan rakyat cerdas, nalar jadi panjang, analisa data jadi jalan," ujar anggota Komisi I DPR.
Dia menambahkan TNI harus progresif menatap tantangan masa depan, bukan malah mengurusi PKI yang sebenarnya sudah tidak ada. Saat ini banyak ekstremis berdalih agama yang banyak melakukan teror dan menurut Eva itulah yang harus jadi konsentrasi.
"TNI harus progresif, menatap ke depan karena tantangan keamanan bukan hanya PKI yang tinggal wacana, tapi ekstrimisme agama yang sudah meledakkan banyak bom malah nggak dianggap ancaman. Ada film Jihad Selfie tuh, lebih relevan diputar secara massal karena kontekstual," kata Eva.