Suara.com - Bupati Nonaktif Klaten, Jawa Tengah, Sri Hartini menangis di ruang persidangan, setelah majelis hakim menghukumnya 11 tahun penjara dalam kasus suap jual beli jabatan serta korupsi dana bantuan keuangan desa.
Putusan yang dibacakan Hakim Ketua Antonius Widjantono dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, Rabu (20/9/2017), sebenarnya lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta hakim memberi hukuman 12 tahun penjara.
Selain hukuman badan, terdakwa juga dijatuhi hukuman denda sebesar Rp900 juta, yang jika tidak dipenuhi maka akan diganti dengan kurungan selama 10 bulan.
"Menyatakan terdakwa terbukti bersalah melanggar Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dan ditambahkan dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi," kata Antonius.
Baca Juga: Tak Bisa Sewa Ambulans, Devi Nangis Pangku Jenazah Bayi di Angkot
Pada dakwaan pertama, terdakwa terbukti melanggar Pasal 12a. Hartini terbukti menerima suap dalam pengisian Satuan Organisasi Tata Kerja (SOTK) di Kabupaten Klaten dengan total Rp2,9 miliar.
Terdakwa menerima usulan titipan pegawai untuk mengisi jabatan dalam penyusunan SOTK baru melalui sejumlah kerabat dekatnya.
Sebagai gantinya, orang-orang yang akan ditempatkan pada jabatan yang baru itu memberikan sejumlah uang yang lazim disebut “uang syukuran”.
Pada dakwaan kedua, terdakwa terbukti melanggar pasal 12 B Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dan ditambahkan dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Hartini dinilai menerima pemberian berupa uang atau gratifikasi yang berkaitan dengan pencairan dana bantuan keuangan desa, titipan dalam penerimaan calon pegawai di BUMD, mutasi kepala sekolah, serta "fee" proyek di dinas pendidikan.
Baca Juga: Napi Kerobokan Gantung Diri Usai Dijenguk Istri, Ternyata....
Total gratifikasi yang tidak pernah dilaporkan bupati yang belum genap setahun menjabat saat ditangkap KPK itu mencapai Rp9,8 miliar.
Atas putusan tersebut, baik terdakwa maupun jaksa penuntut umum menyatakan pikir-pikir.
Sementara itu, penasihat hukum terdakwa Deddy Suwadi mengaku vonis terhadap terdakwa cukup berat.
"Hakim tidak mempertimbangkan fakta-fakta terjadi selama persidangan," katanya.
Menurut dia, tindak suap tersebut terjadi karena kebiasaan yang terjadi di lingkungan pemerintahan itu.
"Terdakwa dalam posisi pasif. Uang syukuran yang diberikan berkaitan dengan kebiasaan yang terjadi selama ini," tegasnya.