Suara.com - Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia Petrus Selestinus mengkritisi sikap Wakil Ketua DPR Fadli Zon terkait permintaan penudaan penyidikan terhadap Ketua DPR Setya Novanto.
Petrus menilai, langkah Fadli Zon yang menandatangani surat permintaan penudaan penyidikan Novanto kepada KPK yang dibuat Sekretariat Jenderal DPR, telah menyalahgunakan kewenangan.
"Surat Fadli Zon, wakil ketua DPR atas nama DPR menyurati KPK meminta penundaan pemeriksaan atas diri Setya Novanto sebagai tersangka dugaan korupsi proyek e-KTP adalah sebuah abuse of power untuk menutupi sebuah abuse of power lainnya demi rasa nyaman Setya Novanto," kata Petrus, Kamis (14/9/2017).
Petrus mengatakan, surat yang ditandatangani Fadli Zon itu bisa berimplikasi kepada institusi DPR sebagai pihak yang ikut terlibat dalam pertanggungjawaban korporasi atas dugaan korupsi yang dilakukan Setya Novanto.
Baca Juga: Tak Hadir Dalam Dialog Pajak, Sri Mulyani Sindir Tere Liye
Hal itu sebagaimana dinyatakan secara gamblang Jaksa Penuntut Umum KPK dalam surat dakwaan atas nama terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong.
"Sudah jelas merupakan bentuk penyalahgunaan jabatan atau kekuasaan oleh Fadli Zon sebagai wakil ketua DPR bekerja sama dengan Setya Novanto menggunakan lembaga DPR untuk kenyamanan pribadi," katanya.
Petrus menilai, surat panggilan KPK terhadap Setya Novanto tidak ditujukan untuk jabatan Setya Novanto sebagai ketua DPR dan dalam rangka hubungan kedinasan antara DPR dan KPK. Tapi, untuk sebuah proses pro justitia yang ditujukan kepada pribadi Setya Novanto.
"Fadli Zon berlagak pilon, seakan-akan perbuatan korupsi yang dituduhkan atau disangkakan oleh KPK terhadap Setya Novanto adalah ditujukan kepada lembaga DPR atau pimpinan DPR," kata Petrus.
Karena itu menurut Advokat Peradi tersebut, dengan membawa-bawa nama DPR hanya untuk sekedar menunda pemeriksaan seorang Setya Novanto, adalah sesuatu yang terlalu mahal harganya bagi DPR.
Baca Juga: Paris Resmi Jadi Tuan Rumah Olimpiade 2024 Setelah 1 Abad Berlalu
Dia berharap kejadian itu menjadi yang pertama dan terakhir di era Setya Novanto. Apalagi, kasus e-KTP sudah mencoreng nama beberapa lembaga seperti DPR, Kementerian Dalam Negeri, Golkar, Demokrat, dan juga PDI Perjuangan.