Sejumlah Anggota DPR Kritik Surat Novanto ke KPK

Rabu, 13 September 2017 | 18:53 WIB
Sejumlah Anggota DPR Kritik Surat Novanto ke KPK
Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto memimpin Rapat Pleno di DPP Partai Golkar, Jakarta, Selasa (18/07).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ketua DPR Setya Novanto mengajukan permohonan penundaan pemeriksaan dirinya di KPK sebagai tersangka kasu‎s korupsi proyek e-KTP. ‎Dia meminta pemeriksaannya ditunda hingga sidang gugatan praperadilannya selesai.

Novanto melayangkan gugatan praperadilan karena menjadi tersangka kasus ‎yang merugikan negara sebsar Rp2,3 triliun. Dalam kasus itu, dia diduga mengatur anggaran proyek senilai Rp5,9 triliun agar disetujui di DPR.

Sejumlah fraksi beranggapan KPK bisa menyikapi dengan jeli surat tersebut. Sebab, surat ini dimohonkan dari masyarakat dan tidak mewakili lembaga DPR.‎

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Junimart Girsang mengatakan ‎munculnya surat ini jangan sampai menimbulkan persepsi intervensi. Apalagi, surat ini mengatasnamakan pribadi dan tidak ada hubungannya dengan lembaga DPR.

"K‎ita berharap KPK tidak melakukan perbedaan terhadap orang perorang. Bagaimana KPK melakukan proses penegakan hukum, lakukan hal yang sama kepada siapa saja," kata Junimart di DPR, Jakarta, Rabu (13/9/2017).

‎Surat permohonan Novanto ini diteruskan DPR ke KPK lewat Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Menurut Junimart, setiap pejabat harusnya berhati-hati dalam hal surat menyurat.

Baca Juga: KPK Tawarkan 4 Poin Kerjasama dengan Partai Politik

"Jangan sampai surat tersebut menjadi disalahgunakan oleh diri sendiri maupun orang lain. Kalau saya lebih radikal lagi, jangan sampai kekuasaan itu diperjual belikan, didagangkan‎," kata Politikus PDI Perjuangan ini.

Sekretaris Fraksi Hanura Dadang Rusdiana menanggapi lebih keras munculnya surat ini. Dia menganggap hal ini bisa disamakan dengan obstruction of justice.

Apalagi, surat ini dikeluarkan tanpa mengge‎lar rapat Badan Musyawarah DPR. Namun, surat ini dibuat dan dikirimkan Kesetjenan DPR. ‎

"‎Saya kira prosedural surat ini aneh. Sekelas kepala biro nggak berhak meneruskan surat ini. Kalau mau, secara institusi itu bamus. Makanya, ini aneh. Bisa jadi ini obstruction of justice. Dan saya melihat ini melampaui kewenangan," katanya.

Anggota Komisi X DPR tidak sepakat bila dengan surat ini maka penyidikan kasus tersebut dihentikan. Menurutnya, KPK harus tetap menjalankan proses hukum yang sedang berjalan.

"‎Tentu kita tidak sepakat kalau ada surat untuk menghentikan itu. Karena itu proses hukum yang tidak bisa diintervensi. Kalau misalnya minta penangguhan penahanan itu kan ada prosedur. Penangguhan pemeriksaan itu dibolehkan UU dan harusnya kuasa hukum," ucapnya.‎

Baca Juga: OTT Lagi, KPK Tangkap Bupati Batubara

Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarief Hasan menambahkan ‎kalau surat ini tidak harus mempengaruhi penegakan hukum yang dilakukan KPK.

"‎Yang jelas KPK harus menjalankan tugasnya sesuai dengan UU dan tidak boleh ada tebang pilih," kata dia.

‎Kepala Biro Pimpinan Kesetjenan DPR Hani Tahap Tari mengirimkan surat permohonan penundanaan pemeriksaan Novanto ke KPK, Selasa (12/9/2017) malam. Surat itu disebutkan alasan dan contoh kasus yang menjadi pertimbangan untuk penundaan pemeriksaan itu.

Salah satu contoh kasus yang dijadikan perbandingan adalah kasus dugaan gratifikasi yang menjerat Kepala Badan Intelijen Negara Komisaris Jenderal Budi Gunawan yang kemudian status tersangka yang ditetapkan KPK dibatalkan pengadilan. ovanto merupakan tersangka kasus korupsi proyek e-KTP. Ketua Umum Partai Golkar itu diduga mengatur anggaran proyek senilai Rp5,9 triliun agar disetujui di DPR.

Atas penetapan tersangka itu, Novanto melayangkan gugatan pra peradilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada awal September. Seharusnya, sidang perdana praperadilan itu digelar, Selasa (19/9/2017). Namun, Novanto sakit vertigo dan tidak hadir sidang tersebut.

Dia juga mengunakan alasan sakit ketika akan diperiksa KPK sebagai tersangka sehari sebelum praperadilan digelar, atau Senin (18/9/2017). KPK kemudian menjadwal ulang pemeriksaan KPK ini meski belum memutuskan waktunya.‎

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI