Ketua Fraksi Gerindra Sebut Surat Setjen DPR ke KPK Offside

Rabu, 13 September 2017 | 12:53 WIB
Ketua Fraksi Gerindra Sebut Surat Setjen DPR ke KPK Offside
Ketua Fraksi Gerindra DPR RI, Ahmad Muzani. [Suara.com/Dian Kusumo Hapsari]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ketua Fraksi Gerindra Ahmad Muzani ‎menilai surat dari Sekretariat Jenderal DPR kepada Komisi Pemberantasan Korupsi offside. Surat tersebut intinya berisi agar KPK menunda proses penyidikan terhadap Ketua DPR Setya Novanto dalam kasus dugaan korupsi proyek e-KTP sampai Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan gugatan praperadilan yang dilakukan Novanto.

"Surat itu menurut saya offside. Setjen DPR telah melakukan tindakan diluar kewenangannya," kata Muzani di DPR, Rabu (13/9/2017).

Menurut Muzani seharusnya Sekretariat Jenderal DPR mengurus hal yang menjadi pekerjaan mereka saja.

"Setjen DPR tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan masalah yang berkaitan dengan masalah terkait seseorang akibat dari persoalan yang dihadapi orang itu dengan lembaga lain," kata Muzani.

Anggota Komisi I DPR menekankan semua surat yang mengatasnamakan DPR seharusnya dibahas terlebih dahulu di tingkat Badan Musyawarah. Itu sebabnya,

Itu sebabnya, surat Sekretariat Jenderal DPR kepada KPK dianggap Muzani di luar batas kewajaran.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengakui sudah menandatangani surat tersebut. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra mengatakan surat ini merupakan permintaan dari Novanto.

Muzani menegaskan akan meminta keterangan Fadli Zon mengenai hal itu.

"Saya mau tanya kepada Pak Fadli, kenapa dia menulis surat tersebut," kata Muzani yang juga Sekretaris Jenderal Partai Gerindra.

Kepala Biro Pimpinan Kesetjenan DPR Hani Tahap Tari mengirimkan surat permohonan penundaan pemeriksaan Novanto ke KPK, Selasa (12/9/2017), malam.

Dalam surat itu disebutkan alasan dan contoh kasus yang diharapkan dapat menjadi pertimbangan untuk penundaan pemeriksaan itu. Salah satu contoh kasus yang dijadikan perbandingan adalah kasus dugaan gratifikasi yang menjerat Kepala Badan Intelijen Negara Komisaris Jenderal Budi Gunawan yang kemudian status tersangka yang ditetapkan KPK dibatalkan pengadilan.

Novanto sendiri merupakan tersangka kasus korupsi proyek e-KTP. Ketua Umum Partai Golkar itu diduga mengatur anggaran proyek senilai Rp5,9 triliun agar disetujui di DPR.

Atas penetapan tersangka itu, Novanto melayangkan gugatan pra peradilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada awal September.

Seharusnya, sidang perdana praperadilan diselenggarakan pada Selasa (12/9/2017). Namun, Novanto tidak hadir karena mengaku sakit sejak hari Minggu (10/9/2017) atau sehari sebelum diperiksa KPK pada Senin (18/9/2017).

Karena Novanto tidak memenuhi panggilan dengan alasan sakit, KPK kemudian menjadwal ulang agenda pemeriksaan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI