Suara.com - Forum Aktivis Hak Asasi Manusia (FAHAM) mendesak Pemerintahan Joko Widodo melalui Unit Kerja Presiden untuk Pemantapan ideologi Pancasila atau UKP-Pancasila, segera menggali kembali pengalaman kehidupan kebangsaan dalam tragedi-tragedi kekerasan negara di masa lalu.
Hal ini menyusul peringatan peristiwa berdarah Tanjung Priok 12 September 1984. Pada 12 September 2017 bertepatan 33 tahun peristiwa Tanjung Priok-salah satu peristiwa pelanggaran HAM yang berat yang pernah diproses di Peradilan HAM adhoc di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
"Dalam pandangan FAHAM, Presiden perlu mengerahkan seluruh mandat sekaligus sumber daya UKP-PIP untuk melakukan sebuah evaluasi total atas gambaran tragedi kemanusiaan masa lampau dan membuka jalan untuk sebuah pemantapan Pancasila yang benar-benar membawa khasanah baru yang terbuka dan berlandaskan perlindungan pada hak-hak asasi manusia," ujar Ketua FAHAM Usman Hamid di Kantor Amnesty International Indonesia, HDI Hive Menteng, Jalan Probolinggo, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, Senen (11/9/2017)
Meski demikian, peristiwa yang menginjak tahun ke-33 ini hanyalah satu dari sekian produk kekerasan negara, akibat pemaksaan ideologi negara Pancasila sebagai asas tunggal atau satu satunya asas yang wajib dianut oleh seluruh organisasi masyarakat.
Baca Juga: Pansus akan Panggil Komnas HAM, Cari Dugaan Pelanggaran HAM
"Contoh lainnya adalah Tragedi Talangsari 1989 di mana Pemerintah mengutamakan jalan kekerasan untuk mengamankan kebijakan yang menganggap perbedaan pandangan organisasi sipil dengan pemerintah sebagai ketidakpatuhan," kata dia.
Tak hanya itu, FAHAM menilai, upaya memandatkan UKP-Pancasila dengan agenda-agenda HAM amat penting, karena pengalaman kelam di masa lalu itu masih relevan dengan situasi saat ini terutama jika melihat empat bidang perlindungan HAM.
Pertama yakni, kemerdekaan memeluk agama dan keyakinan di mana kasus-kasus kekerasan oleh kelompok garis keras yang merasa mayoritas terhadap kaum minoritas masih belum diatasi oleh negara.
"Kedua, kemerdekaan untuk berekspresi yang dalam hal ini terlihat dalam tindakan aparat dalam membubarkan kegiatan-kegiatan masyarakat, seperti diskusi-diskusi seputar tragedi 1965," ucap Ismail.
Kemudian, ketiga, penyelesaian kasus HAM masa lalu yang bertolak belakang antara pernyataan-pernyataan komitmen Presiden dengan kinerja kementerian politik, hukum, dan keamanan.
Baca Juga: Perkosaan, Pembantaian dan Pelanggaran HAM Rohingya di Myanmar
"Keempat, kriminalisasi terhadap warga petani dan masyarakat adat yang berusaha mempertahankan hak-hak ulayat dan tanah produksi mereka," ucap dia.
Maka dari itu, FAHAM kata Ismail menuntut pemerintahan Jokowi melalui UKP-PlP untuk merumuskan kebijakan pemantapan Pancasila yang berlandaskan pada penghormatan hak-hak asasi manusia.
"Dengan demikian, potensi pengulangan atas tragedi-tragedi itu bisa dicegah. Lebih jauh, FAHAM meyakini bahwa pemerintahan Jokowi perlu menyelaraskan agenda-agenda UKP-PIP tersebut dengan agenda penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu dan jaminan perlindungan HAM di masa sekarang," tutur Ismail.
FAHAM juga meminta Presiden Joko Widodo dan khususnya Unit Kerja Presiden untuk Pemantapan Ideologi Pancasila agar menggali kembali tragedi-tragedi kemanusiaan di masa lalu dan masa kini secara adil dan bermartabat. FAHAM juga menilai, tanggung jawab negara ini juga tak bisa dipisahkan dari kewajiban untuk menyediakan reparasi penuh dan efektif bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM.
"Dengan demikian, FAHAM berkeyakinan, pemantapan ideologi Pancasila akan dapat benar-benar memulihkan kepercayaan publik akan kewajiban dan tanggung jawab universal negara pada cita-cita perlindungan dan pemajuan HAM," tandasnya.