'Mati daripada Kalah': Revolusi Agraria di Belantara Sumatera

Reza Gunadha Suara.Com
Senin, 11 September 2017 | 17:32 WIB
'Mati daripada Kalah': Revolusi Agraria di Belantara Sumatera
[The Guardian/Vincent Bevins in Humbang Hasundutan]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Satu komunitas kecil di pedalaman hutan belantara Sumatera, Indonesia, menjadi jantung pertempuran untuk mempertahankan lahan garapan. Pertempuran yang bisa mengganti sistem hukum kepemilikan lahan yang kacau dan eksploitatif, sebuah "revolusi agraria".

Cuaca dingin bergelayut di antara kegelapan malam di belantera Pulau Sumatera. Namun, sekelompok tetua tetap meringkuk melingkari selembar peta, merencanakan strategi pertempuran mereka.

Tahun lalu, mereka menorehkan sejarah dalam tonggak kemenangan kecil mempertahankan hak mereka atas tanah garapan. Tahun 2016, mereka dijanjikan mendapat hak atas tanah yang sebenarnya sudah dikuasai komunitas mereka sejak beberapa generasi lampau.

Baca Juga: Sindikat Saracen, Asma Dewi Adik dari Anggota Mabes Polri

Tapi kekinian, mereka mendapat kabar buruk. Seorang inspektur lokal meminta sejumlah lahan itu untuk diberikan kepada perusahaan besar bubur kertas. Padahal, lahan itu tempat mereka biasa memanen benzoin—zat seperti kemenyan. Mereka menilai permintaan itu sebagai pengkhianatan.

Sembari menyeruput teh, para tetua berdebat dalam bahasa campuran antara Batak dan bahasa Indonesia. Mereka tengah merencanakan aksi perlawanan untuk keesokan hari. Selama setahun terakhir, setiap hari mereka selalu membuat rencana perlawanan.

"Kami meneruskan perjuangan. Ini adalah satu-satunya pilihan bagi kami," tutur Arnold Lumban Batu yang ikut pertemuan yang diorganisasikan komunitas adatnya.

"Sejujurnya, semua dari kami lebih memilih mati daripada kalah," tegasnya kepada dua jurnalis The Guardian yang datang, Vincent Bevins dan Humbang Hasundutan.

Baca Juga: Pernyataan Henry Ungkap Agenda Tersembunyi Pansus KPK

Mereka yang bersamuh adalah anggota komunitas pribumi "Pandumaan-Sipituhuta". Mereka mungkin bisa mengubah peraturan kapitalisme di Indonesia, yang mendominasi puluhan juta orang.

Bersama dengan komunitas lain, mereka memelajari hak-hak masyarakat adat yang dilindungi konstitusi. Mereka juga pernah melobi untuk mendapat dukungan Presiden Joko Widodo, dengan harapan, dapat menguasai tanah adat sesuai ketentuan.

Kaum tani dan masyarakat yang juga berjuang mendapatkan haknya di hutan-hutan hujan tropis Indonesia tampak menatap lekat-lekat kepada komunitas tersebut. Banyak ahli agraria, aktivis HAM, dan ekologis meyakini, pendekatan aksi yang dilakukan komunitas Pandumaan-Sipituhuta adalah pilihan terbaik untuk melakukan revolusi agraria, menghanti sistem hukum tanah yang tak berpihak.

"Namun, usaha ini belum tentu berhasil. Amerika Serikat berada di belakang sistem perundang-undangan lahan yang tak menguntungkan petani. Dukungan politik dari Jakarta, ibu kota, mungkin berubah-ubah, dan ada banyak rintangan logistik," tulis Vincent Bevins dan Humbang Hasundutan dalam artikelnya "'We'd rather die than lose': villagers in Indonesia fight for a land rights revolution", The Guardian, Senin (4/9/2017).

Warga komunitas itu selalu bangga ketika suatu malam saat mereka menyerbu salah satu situs tempat perusahaan Toba Pulp Lestari (TPL) berencana memulai menebangi pepohonan. Mereka menyerbu dan mengambil seluruh peralatan milik perusahaan tersebut.

 Mereka juga secara jujur mengakui masih trauma ketika polisi mendatangi desa dan menangkapi banyak warga. Sebagai balasan, mereka juga mengingat komunitas tetangganya, yakni warga adat Aek Lung, mencanangkan aksi "gerilya menanam". Aksi itu berupa menanami lahan-lahan adat mereka yang sudah diambil TPL, persis ketika perusahaan itu memanen pohon ekaliptus.

Tak hanya itu, mereka juga mengakui sudah kebal mendapat ancaman pembunuhan. Mereka turut menduga perusahaan merupakan dalang dari sekelompok orang yang membakar gubuk, meracuni tanaman, dan memanggil polisi militer untuk mengalahkan gerakan komunitas.

"Aku selalu ada di medan pertempuan.  Aku selalu hadir dalam setiap aksi protes, dan juga aksi langsung di lahan-lahan," kata Rusmedia Lumban Gaol,  perempuan sepuh berusia 68 tahun yang malam itu mengenakan sarung dan kaus klub Barcelona.

"Kami, perempuan-perempuan tua ini, selalu berada di barisan depan aksi. Sebab, orang-orang sewaan perusahaan dan polisi selalu sungkan untuk mengasari kami. Mereka pasti malu berhadapan dengan kami," kenangnya.

Namun, PT TPL menyanggah semua tuduhan warga yang dialamatkan kepada pihaknya. Mereka menilai, aktivitas perusahaan sudah sesuai peraturan yang berlaku.

"Kami selalu bekerja dengan pemerintah. Kami percaya, suatu saat, akan ada pertemuan dengan mereka, mencari 'win-win-solution' yang menguntungkan kami, warga, dan juga pemerintah," tutur anggota direksi PT TPL, Mulia Nauli kepada The Guardian via telepon.

Jalan Terjal

Petani di Indonesia, seperti yang dikutip dari The Guardian, pernah menaruh harapan besar kepada Presiden Soekarno di era 1960-an. Persisnya, ketika sang presiden mengesahkan Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960.

Dalam UUPA, petani kecil bakal mendapat lahan garapan secara percuma dalam program reformasi pertanahan (landreform).

Namun, harapan itu sirna setelah rezim Bung Karno runtuh pada akhir tahun 1965, ketika sejumlah grup militer yang didukung AS diduga melakukan kudeta.

Setelahnya, pemerintahan konservatif yang dinamakan Orde Baru dan dipimpin Jenderal Soeharto benar-benar memupus harapan mereka mendapatkan lahan.

Sama ketika Barack Obama terpilih sebagai Presiden AS, ketika Joko Widodo naik ke tampuk kekuasaan tahun 2014, juga banyak komunitas dan organisasi adat mendukungnya.

Namun—lagi-lagi sama seperti Obama—Jokowi juga menghadapi serangan terus-menerus dari kelompok politik sayap kanan sehingga tak mampu mewujudkan isu-isu progresif yang diharapkan pendukungnya.

Untuk bisa mengeluarkan kebijakan redistribusi lahan kepada petani kecil atau landreform, Jokowi diyakini harus meraih dukungan elite-elite politik lain, yang dipastikan sulit.

"Masalahnya di Indonesia adalah, terdapat klaim tumpang-tindih terhadap tanah yang sama. Konsesinya juga cenderung diberikan kepada para jenderal dan elite politik. Kecenderungan itu sudah ada sejak era kediktatoran Soeharto,"  kata John McCarthy, seorang profesor Australian National University yang memelajari hak atas tanah di Indonesia.

"Aku berpikir Indonesia sedang menuju perubahan nyata, tapi tantangannya sangat besar. Salah satu pertanyaan utamanya adalah, apakah investor Indoneias pernah membiarkan landreform dan revolusi agraria terjadi?" tukasnya.

Bahkan, kata John, kalau pun Jokowi berhasil memenangkan dukungan politik untuk melakukan redistribusi tanah, maka detail rencananya itu patut disorot. "Apakah tanah itu diredistribusikan kepada komunitas-komunitas lokal atau bagaimana," tuturnya.

***

"Apakah  aku senang berkebun benzoin? Ya, itulah yang kami lakukan, dan kami bangga," tutur Sartono Lumban Gaol, sembari duduk-duduk di luar area hutan suatu pagi, sebelum ia dan warga lainnya bekerja keras. "Tapi aku tak tahu kalau mendapat pilihan lain," tukasnya lagi.

Tidak semua anggota komunitas Pandumaan-Sipituhuta memilih untuk melawan. Ada pula di antara mereka memilih jalan mudah: bekerja sama dengan perusahaan.

Sementara bagi mereka yang memercayai perjuangan adalah satu-satunya pilihan, bergabung dengan KSPPM dan organisasi petani lainnya untuk mendapat pendidikan mengenai hak-hak dasar adalah keputusan terbaik.

Namun, persoalan perubahan tatakelola lahan garapan dan hak adat, tidaklah bisa diselesaikan oleh satu komunitas atau organisasi lokal seperti Pandumaan-Sipituhuta. Sebab, persoalan ini jauh lebih besar dan meliputi hampir seluruh daratan Indonesia.

Setidaknya, di seluruh Indonesia, terdapat 9 komunitas adat yang meminta pemerintah memberikan hak atas tanah mereka dengan total luas 13.000 hektare.

Sementara aktivis bertahan meminta Jokowi menepati janjinya untuk meredistribusi 600.000ha lahan dan mendorong transformasi total tata kepemilikan  70 juta hektare lahan.

"Lahan garapan adalah identitas petani dan masyarakat adat. Namun, wilayah-wilayah ini tidak pernah diakui oleh negara, yang berarti kejahatan dilakukan terhadap rakyat dan melanggar konstitusi," tutur Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi di Jakarta.

AMAN adalah akronim "Aliansi Masyarakat Adat Nasional, yang fokus memperjuangkan hak-hak masyarakat adat minoritas.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI