'Mati daripada Kalah': Revolusi Agraria di Belantara Sumatera

Reza Gunadha Suara.Com
Senin, 11 September 2017 | 17:32 WIB
'Mati daripada Kalah': Revolusi Agraria di Belantara Sumatera
[The Guardian/Vincent Bevins in Humbang Hasundutan]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

"Kami selalu bekerja dengan pemerintah. Kami percaya, suatu saat, akan ada pertemuan dengan mereka, mencari 'win-win-solution' yang menguntungkan kami, warga, dan juga pemerintah," tutur anggota direksi PT TPL, Mulia Nauli kepada The Guardian via telepon.

Jalan Terjal

Petani di Indonesia, seperti yang dikutip dari The Guardian, pernah menaruh harapan besar kepada Presiden Soekarno di era 1960-an. Persisnya, ketika sang presiden mengesahkan Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960.

Dalam UUPA, petani kecil bakal mendapat lahan garapan secara percuma dalam program reformasi pertanahan (landreform).

Baca Juga: Sindikat Saracen, Asma Dewi Adik dari Anggota Mabes Polri

Namun, harapan itu sirna setelah rezim Bung Karno runtuh pada akhir tahun 1965, ketika sejumlah grup militer yang didukung AS diduga melakukan kudeta.

Setelahnya, pemerintahan konservatif yang dinamakan Orde Baru dan dipimpin Jenderal Soeharto benar-benar memupus harapan mereka mendapatkan lahan.

Sama ketika Barack Obama terpilih sebagai Presiden AS, ketika Joko Widodo naik ke tampuk kekuasaan tahun 2014, juga banyak komunitas dan organisasi adat mendukungnya.

Namun—lagi-lagi sama seperti Obama—Jokowi juga menghadapi serangan terus-menerus dari kelompok politik sayap kanan sehingga tak mampu mewujudkan isu-isu progresif yang diharapkan pendukungnya.

Baca Juga: Pernyataan Henry Ungkap Agenda Tersembunyi Pansus KPK

Untuk bisa mengeluarkan kebijakan redistribusi lahan kepada petani kecil atau landreform, Jokowi diyakini harus meraih dukungan elite-elite politik lain, yang dipastikan sulit.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI