"Petugas admin menghitung itu duit. Dia bilang 'saya pegang dulu ya, saya tanyakan ke atasan saya'. Ternyata duit Rp5 juta itu anak saya nggak bisa masuk ruang PICU. Saya mohon, 'tolong mbak siang nanti saya bayar', karena anak saya perlu ditangani di ruang PICU dulu," katanya.
Di tengah kebingungan, Rudianto mendapatkan kabar dari istri yang menyebutkan ada tambahan Rp2 juta dari pinjaman. Sekarang Rudianto punya Rp7 juta. Tetapi, rumah sakit tetap menyatakan belum cukup.
"Selanjutnya saya dipanggil petugas lab. Ke kasir lab anak mau rontgen, cek darah. Bayar sekitar Rp1,7 juta untuk cek lab. Saya mohon ke petugas administrasi supaya bisa masuk ruang PICU, tapi nggak dibolehkan juga, jadi saya balik ke IGD lagi," kata dia.
Henny diminta manajemen RS untuk menandatangani surat pernyataan yang isinya perjanjian untuk membayar selang untuk paru-paru Debora. Setelah itu, mereka diminta lagi untuk menyelesaikan proses administrasi sebagai syarat Debora bisa ditangani di ruang PICU.
Baca Juga: Kisah Miris Bayi Debora dan Kemarahan Ibunya
"Saya ke admin lagi mohon, 'bu tolongan anak saya mau masuk ruang PICU. Saya akan lunasi susahnya. Terus dia bilang nggak bisa kalau Rp5 juta, bisanya Rp11 juta. Saya sudah bilang dimasukin saja dulu siang saya pasti bisa lunasi," kata Henny.
Di tengah kebingungan, tiba-tiba Henny mendapatkan kabar anaknya dalam kondisi kritis.
"Setelah itu ada suster datang dengan muka panik, akhirnya dia ngomong sama dokter yang nanganin. Saya tunggu beberapa menit, langsung dokter mengatakan keadaan anak ibu kritis," kata Henny.
Henny langsung menemui Debora.
"Saya pegang tangan sudah dingin. Anak ibu nafasnya masih ada, tapi detak jantung nggak ada. Dokter bilang kami lagi berusaha membagikan detak jantungnya. Saya berdoa mau anak saya kembali. 'Tuhan tolong jangan ambil anak saya'," kata Henny.
Baca Juga: RS Mitra Keluarga Kalideres Ngaku Tak Tahu Debora Peserta BPJS
Tak terima dengan keadaan itu, Henny dan suami minta penjelasan manajemen rumah sakit.