Suara.com - Pemerintah dan militer Myanmar menolak permintaan gencatan senjata yang dimaklumatkan milisi bersenjata Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).
Penolakan itu merupakan jawaban atas deklarasi gencatan senjata unilateral yang diumumkan juru bicara ARSA pada Sabtu (9/9/2017).
"Kami tak memunyai kebijakan bernegosiasi dengan kelompok teroris," tegas juru bicara senior pemerintah Myanmar, Zaw Htay melalui akun Twitter miliknya, Minggu (10/9) malam, dan disitat Channel News Asia.
Pemerintah Myanmar telah memasukkan ARSA dalam daftar kelompok teroris, karena gerombolan tersebut bertujuan merebut negara bagian Rakhine untuk dideklarasikan sebagai negara sendiri.
Baca Juga: ARSA, Pemberontak Bersenjata Rohingya Minta Gencatan Senjata
Kontak senjata termutakhir antara ARSA dan militer Myanmar terjadi pada Kamis (25/8) tiga pekan lalu. Ketika itu, ARSA menyerang 20 pos polisi yang menewaskan 15 aparat.
Setelah insureksi itu, militer Myanmar merespons dengan penerapan operasi militer di seluruh Rakhine. Dalam operasi itu, sedikitnya 300 ribu warga Rohingnya melarikan diri ke perbatasan Bangladesh.
We have no policy to negotiate with terrorists. #ARSA terrorists #Rakhine #Myanmar pic.twitter.com/IQStAN9afI
— Zaw Htay (@ZawHtayMyanmar) September 10, 2017
Eksodus komunitas Rohingya itu memicu kecaman dunia terhadap Konselor Myanmar Aung San Suu Kyi. Pasalnya, para pengungsi adalah warga sipil Rohingya, bukan pendukung ARSA.
Kecaman semakin menghebat setelah militer Myanmar dilaporkan memasang ranjau darat di jalan-jalan setapak, yang menjadi jalur pengungsi.
Baca Juga: Pekerja Asing yang Dihukum Hormat Bendera Merah Putih Dideportasi