Kontroversial, Hakim Binsar Usul Calon Pengantin Tes Keperawanan

Reza Gunadha Suara.Com
Senin, 11 September 2017 | 09:30 WIB
Kontroversial, Hakim Binsar Usul Calon Pengantin Tes Keperawanan
Hakim Binsar Gultom (berkacamata) dalam sidang lanjutan kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin oleh terdakwa Jessica Kumala Wongso di Pengadilan Negri Jakarta Pusat, Rabu (13/7).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Binsar Gultom, Hakim Pembina Utama Madya Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus Jakarta Pusat, mewacanakan usul yang terbilang kontroversial di Indonesia. Ia mengusulkan setiap perempuan yang akan menikah, terlebih dulu mengikuti tes keperawanan.

Menurutnya, tes keperawanan bagi calon mempelai perempuan itu untuk menghindari perceraian setelah menikah yang masih terbilang tinggi di Indonesia.

Wacana tes keperawanan terdapat dalam buku majelis hakim kasus “Kopi Vietnam Arsenik” Jessica Kumala Wongso tersebut yang berjudul “Pandangan Kritis Seorang Hakim 3", baru terbit Agustus 2017.

"Perceraian dan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) adalah pelanggaran hukum negara dan hukum Tuhan. Karenanya, kalau belum memahami makna perkawinan, jangan coba-coba menikah," tutur Binsar.

Baca Juga: 'Diserang' Marquez di Lap Terakhir, Pebalap Ini Akui Kalah Cerdik

Binsar mengungkapkan, dalam halaman 213 buku tersebut, dirinya sudah menangani sedikitnya 250 perkara perceraian sejak aktif sebagai hakim pada tahun 1996. 

Perceraian itu, sambungnya, disebabkan beragam persoalanan yang terutama KDRT, yakni kekerasan seksual maupun fisik dalam bahtera rumah tangga.

Ia mencontohkan, terdapat kasus orang tua memerkosa anaknya sendiri atau menjual buah hatinya sebagai pekerja seks komersial.

Berdasarkan pengalamannya dalam menangani kasus perceraian, Binsar menilai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus direvisi.

Baca Juga: Klasemen Sementara Pebalap dan Pabrikan Usai MotoGP San Marino

“Terutama mengenai usia seseorang yang dibolehkan untuk menikah. Perempuan sebaiknya minimal menikah pada usia 21 tahun. Sementara laki-laki dibolehkan menikah minimal 25 tahun dan ditambah syaratnya bahwa salah satu pihak memunyai penghasilan tetap,” terangnya.

Tak kalah penting, menurut Binsar, kalau diperlukan, sepasang kekasih yang hendak menikah harus diberikan syarat tegas, yakni masih dalam kondisi suci atau kudus. Dengan demikian, harus diketahui masih perawan atau tidak.

"Untuk itu, harus ada tes keperawanan," tegas Binsar pada halaman 194 buku tersebut.

Kalau tak lagi perawan, diperlukan tindakan preventif bahkan represif pemerintah terhadap pasangan yang bakal menikah. Misalnya, menyarankan untuk menunda pernikahan.

"Tindakan seperti itu diperlukan, kenapa? Sebab, salah satu penyebab perpecahan rumah tangga karena pernikahannya dilakukan dalam keadan terpaksa, semisal terlebih dulu hamil,” demikian terkaan Binsar.

Padahal, perceraian semestinya dinilai sebagai pelanggaran hukum negara dan Tuhan.

Untuk diketahui, buku Binsar yang berjudul “Pandangan Kritis Seorang Hakim” rencananya dibedah di kalangan  akademik perguruan tinggi pada November 2017.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI