Suara.com - Kerajaan Arab Saudi dikecam karena memilih bungkam ketika warga Rohingya di Myanmar yang mayoritas beragama Islam mazhab Sunni dipersekusi oleh militer Myanmar sejak dua pekan terakhir.
Kritik tersebut juga dilontarkan pemimpin milisi Ansarullah, yang menjadi tembok pertahanan Yaman dari perang agresi Saudi, Sayyed Abdol Malik Badreddine Al Houthi.
"Arab Saudi dan sekutu-sekutunya di teluk mengklaim diri sebagai pelindung seluruh Muslimin. Tapi, mereka justru tak membantu kaum Sunni di Myanmar," kecam Houthi, seperti dilansir media nasional Iran, Fars News, Kamis (7/9/2017).
Baca Juga: 2 WNI Berhasil Dibebaskan Militer Filipina dari Abu Sayyaf
Houthi menegaskan, konflik di Myanmar tak bisa direduksi menjadi isu sentimen keagamaan antara Islam dengan Buddha.
Ia mengatakan, konflik berdarah di daerah Rakhine tersebut adalah tragedi kemanusiaan karena motif-motif ekonomis.
"Meski begitu, sebagai umat Islam, baik Mazhab Sunni maupun Syiah, semuanya harus membela Rohingya demi kemanusiaan dan persaudaraan sesama Muslim," tegasnya.
Houthi juga meminta Sekretaris Jenderal PBB Antonio Gutteres untuk mengintervensi dan memaksa Myanmar menghentikan persekusi terhadap warga Rohingya.
"Pemerintah Myanmar harus menghentikan perburuan dan pembunuhan Rohingya, agar stabilitas perdamaian di kawasan itu tetap terjaga," tandasnya.
Baca Juga: Curi Helm Buat Nikah, Ari Pipis di Celana saat Ditangkap Polisi
Untuk diketahui, persekusi terhadap warga sipil Rohingya kembali terjadi sejak Kamis (25/8) dua pekan lalu. Tepatnya setelah kelompok bersenjata Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menyerang 25 pos polisi dan menewaskan puluhan orang.
Setelah insureksi ARSA, militer Myanmar menetapkan Rakhine sebagai daerah operasi militer, yang mengakibatkan 400 orang tewas. Sementara 14.000 Rohingya melarikan diri ke perbatasan Bangladesh.
Sementara milisi Ansarullah atau Houthi, merupakan gerilyawan Yaman yang mempertahankan kedaulatan negeri mereka dari gempuran pasukan Arab Saudi.
Kerajaan Saudi ikut campur dan mengagresi Yaman dengan alasan milisi Houthi melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang didukung oleh mereka.