Suara.com - Israel menuai kecaman lantaran tetap mengizinkan perusahaan militernya, TAR Ideal Concepts, menjual persenjataan dan melatih tentara Myanmar meski terjadi krisis kemanusiaan di wilayah Rakhine.
Seperti diberitakan Telesurtv.net, Rabu (6/9/2017), sejumlah organisasi hak asasi manusia mengungkapkan TAR Ideal Concepts menjual sedikitnya 100 tank, kapal, dan persenjataan ringan kepada militer Myanmar.
Tak hanya itu, TAR juga melatih unit-unit pasukan khusus Myanmar yang turut diterjunkan dalam operasi militer di Rakhine, dan menyebabkan ratusan ribu warga Rohingya melarikan diri ke perbatasan Bangladesh, sejak Kamis (25/8) pekan lalu.
Sejumlah pengacara dan aktivis HAM Israel, sudah mengajukan petisi ke pengadilan tinggi agar pemerintah melarang TAR melanjutkan bisnisnya di Myanmar.
Baca Juga: Ganjar Pranowo: FPI Batalkan Aksi di Candi Borobudur
"Namun, petisi kami ditolak pengadilan, karena mereka tak memunyai alasan hukum untuk melarang bisnis tersebut. Mereka menilai bisnis itu legal karena adanya hubungan diplomatik," ungkap Eitay Mack, pengacara yang mempresentasikan petisi tersebut.
Ia menegaskan, sistem hukum maupun pemerintah Israel seharusnya peka terhadap krisis kemanusiaan Rohingya di Myanmar, dan menjadikannya sebagai alasan ekstrajudisial guna melarang bisnis TAR-militer Myanmar.
"Israel tidak bisa mengontrol apa yang terjadi di Myanmar setelah menjual persenjataan dan melatih militer mereka. Militer yang dilatih TAR juga diterjunkan ke wilayah Rohingya di Rakhine," tegasnya.
Aktivis HAM Israel, Ofer Neiman, mengungkapkan pemerintahnya sudah sejak lama membuat kesepakatan bisnis dengan militer Myanmar.
"September 2015, komandan tertinggi militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing melakukan 'perjalanan belanja' ke Israel. Sejak saat itu, pemerintah Israel menjual persenjataan ke junta militer Myanmar," ungkapnya.
Baca Juga: Dipolisikan karena Tulisan soal Megawati, Ini Sanggahan Dhandy
Ia mengatakan, penjualan senjata ke Myanmar itu juga berhubungan dengan agresi militer negaranya ke wilayah Palestina.
"Sebab, militer Israel mengujicobakan senjata-senjata itu dalam peperangan melawan Palestina. Peperangan itu akan meningkatkan daya jual persenjataan ke negara lain, termasuk ke Myanmar," terangnya.
Untuk diketahui, persekusi terhadap warga sipil Rohingya kembali terjadi sejak Kamis (25/8) dua pekan lalu. Tepatnya setelah kelompok bersenjata Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menyerang 25 pos polisi dan menewaskan puluhan orang.
Setelah insureksi ARSA, militer Myanmar menetapkan Rakhine sebagai daerah operasi militer, yang mengakibatkan 400 orang tewas. Sementara 14.000 Rohingya melarikan diri ke perbatasan Bangladesh.