Suara.com - Jurnalis cum aktivis kemanusiaan Dandhy Dwi Laksono dilaporkan Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem)—organisasi sayap PDIP—ke Kepolisian Daerah Jawa Timur, Rabu (6/9/2017).
Pendiri sekaligus Direktur Watchdog tersebut dianggap menghina Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam tulisan berjudul “Suu Kyi dan Megawati”, yang diunggahnya ke ke akun Facebook pribadi, Minggu (3/9) akhir pekan lalu. Tulisan itu juga dimuat dalam laman berita daring AcehKita.
Dalam tulisan tersebut, Dhandy mengkritik situasi politik internasional dan nasional melalui studi komparatif mengenai krisis kemanusiaan Rohingya di Myanmar dengan penegakan HAM di Indonesia, termasuk di Papua.
Namun, kritik sosial Dhandy itu justru ditanggapi berbeda oleh Ketua Repdem Jatim Abraham Edison. Tulisan kritik yang seharusnya dibalas melalui tulisan sanggahan dalam kerangka polemik secara intelektualis, Abraham justru melaporkan Dhandy ke polisi.
Baca Juga: Dituduh Hina Megawati, Repdem Polisikan Jurnalis Dhandy
Terkait pelaporan tersebut, Dhandy lantas memublikasikan tulisan lain sebagai tanggapannya. Berikut tulisan Dhandy tersebut, yang juga diunggah ke akun Facebook pribadinya:
SOLIDARITAS ITU. Kawan-kawan, terima kasih untuk semua reaksi dan solidaritasnya yang belum dapat saya balas satu per satu. Juga mohon maaf untuk rekan media yang sepanjang hari berusaha menghubungi tapi belum sempat saya respon.
Pertama, seperti halnya kita semua, saya juga terkejut dengan pelaporan itu. Alih-alih mendapat kiriman artikel bantahan atau perspektif pembanding, yang datang justru kabar pemolisian.
Kedua, kawan-kawan pengacara dari berbagai lembaga bantuan hukum maupun individu-individu, menyarankan agar semua respon terkait kasus ini hendaknya terukur. Saran ini agak mengganggu kebiasaan saya yang cenderung lebih spontan. Tapi mereka banyak benarnya.
Yang sedang kami lakukan adalah mengumpulkan informasi apakah ini semata sikap reaksioner sekelompok partisan politik yang memanfaatkan “pasal-pasal karet” dalam UU ITE dan KUHP, atau sebuah varian represi baru bagi kebebasan berpendapat tanpa mengotori tangan dan citra kekuasaan.
Baca Juga: Heroik, Aipda Ismet Setiap Hari Bantu Siswa SD Lawan Arus Sungai
Meski keduanya sama-sama ancaman bagi demokrasi, namun kesimpulan atas kedua hal itu tentu menuntut respons yang berbeda.
Ketiga, hari-hari ini banyak persoalan yang menuntut perhatian publik lebih besar, seperti kasus petani Kendeng yang mengalami kriminalisasi dan pembongkaran tenda keprihatinan di Jakarta, peringatan 13 tahun pembunuhan Munir, dan melanjutkan solidaritas terhadap warga Rohingya.
Bahkan, ada pelaporan tiga media massa terkait kasus Novel Baswedan, pemenjaraan para pemrotes proyek pembangunan alun-alun di Gresik, pemenjaraan pengacara yang selama ini mendampingi nelayan di Bangka, kriminalisasi warga Banyuwangi yang menolak tambang emas dengan delik penyebaran komunisme, hingga terbunuhnya warga di Papua dalam sebuah insiden dan aparat pelakunya hanya divonis meminta maaf.
Dibanding kasus-kasus tersebut, apalagi penangkapan 4.996 orang Papua sepanjang 2016 dan tragedi Rohingya, kasus pelaporan ini tentu tidak ada apa-apanya.
Tapi kami juga sadar, pelaporan ini telah memicu keresahan umum yang daftar korbannya telah dan bisa lebih panjang, dan karenanya harus disikapi melampaui kasus individu yang butuh mediasi atau perdamaian. Sebab memang tak ada yang perlu dimediasi atau didamaikan dari tulisan itu. Secara pribadi, saya tidak pernah punya masalah dengan kelompok partisan itu atau pihak yang mungkin menggerakkannya. Karena itu, sekali lagi, respon dan pernyataan yang lebih terukur sedang disusun oleh kawan-kawan yang mendampingi kasus ini.
Keempat, langkah polisi atas pelaporan ini juga akan ikut menentukan sikap apa yang kita semua harus lakukan di tahap selanjutnya.
Demikian, terima kasih dan sungguh merasa terhormat dengan segala solidaritas yang telah kawan-kawan tunjukkan.
Salam.