Suara.com - Pemimpin de facto Myanmar yang juga peraih Nobel Perdamaian 1991, Aung San Suu Kyi, untuk kali pertama mengeluarkan pernyataan publik mengenai Rohingya, setelah konflik berdarah kembali terjadi di wilayah Rakhine sejak dua pekan lalu.
Suu Kyi yang menjadi Konselor Negara Myanmar tersebut, mengatakan pemerintah telah bekerja untuk melindungi hak-hak demokratis Rohingya.
Pernyataannya tersebut, seperti dilansir CNN, Rabu (6/9/2017), diutarakan saat berbicara dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, via sambungan telepon.
"Kami benar-benar tahu, lebih dari apa pun, apa makna perlindungan hak asasi dan hak demokratis," tegas Suu Kyi, dalam rekaman pembicaraannya dengan Erdogan.
Baca Juga: Giring Nidji Daftar Jadi Bakal Calon Anggota DPR dari PSI
"Jadi, kami memastikan seluruh warga negara kami mendapatkan proteksi atas hak asasi mereka, tidak hanya dalam bidang politik, tapi juga sosial, dan kemanusiaan," tegasnya lagi.
Dalam pembicaraan tersebut, Suu Kyi yang mendapat kecaman atas kebungkamannya mengenai konflik Rohingya dalam dua pekan terakhir, juga mengklaim banyak kesalahan informasi yang beredar di kalangan komunitas internasional.
Informasi-informasi salah yang beredar tersebut, justru menguntungkan gerombolan-gerombolan teroris yang ingin menguasai wilayah Rakhine.
Untuk diketahui, selama dua pekan terakhir, sedikitnya 123.000 warga Rohingya bergerak ke perbatasan Myanmar-Bangladesh, setelah militer menggelar operasi.
Operasi militer itu dilakukan pemerintah Myanmar untuk memberantas gerombolan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), yang masuk daftar teroris oleh pemerintah negeri tersebut.
Baca Juga: Bela Rohingya, Putri Sulung Gus Dur Malah Dirisak
Persekusi militer Myanmar terhadap Rohingya dipicu oleh penyerangan ARSA terhadap 20 pos polisi yang menewaskan puluhan aparat. Sebagai balasan, militer diklaim membakar rumah-rumah dan mengusir komunitas Rohingya di Rakhine.