Disensor Rezim karena Rohingya, BBC Keluar dari Myanmar

Reza Gunadha Suara.Com
Selasa, 05 September 2017 | 11:48 WIB
Disensor Rezim karena Rohingya, BBC Keluar dari Myanmar
Anak-anak Rohingya mengantre pembagian daging qurban oleh warga Bangladesh di Nykkhongchhari [AFP]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Stasiun televisi BBC berbahasa Burma, menyatakan menghentikan kerjasama dengan stasiun televisi lokal Myanmar, sejak Senin (4/9/2017), karena mendapat tekanan dari rezim yang berkuasa.

Tekanan tersebut, seperti diberitakan South China Morning Post, Selasa (5/9), berupa perintah sensor setelah BBC banyak menyiarkan berita mengenai warga minoritas Rohingya.

Penghentian siaran tersebut merupakan pukulan telak dalam perjuangan kebebasan pers di negeri tersebut.

Baca Juga: Kapolri Lantik Lima Kapolda Baru, Krishna Murti Naik Pangkat

Padahal, BBC dan pers secara umum merupakan pihak yang pernah memberikan porsi besar liputan terhadap pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi, saat dirinya menjadi tahanan rumah rezim militer.

Sejak April 2014, BBC bekerjasama dengan stasiun MNTV menayangkan sejumlah program berita berbahasa Burma. Program itu langsung tenar dengan 3,7 juta pemirsa per hari.

Dalam pernyataan publiknya, BBC mengungkapkan kerjasama itu berakhir setelah pemerintah mengintevensi dan menyensor sejumlah program sejak Maret 2017.

"BBC tak bisa menerima intervensi dan sensor tersebut. Sebab, hal itu melanggar kesepakatan dan kepercayaan antara BBC dan pemirsa," demikian pernyataan dalam laman daring BBC Burma.

BBC tidak memerinci konten pemberitaan apa yang disensor oleh pemerintah. Sementara MNTV juga tak mengeluarkan pernyataan publik.

Baca Juga: Unggah Tulisan soal Rohingya, Afi Nihaya Kembali Diduga Plagiat

Namun, pejabat pemerintah dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi lokal mengungkapkan, sensor dilakukan karena BBC menggunakan kata "Rohingya" dalam berita hasil liputannya.

"Itulah alasan kami tak bisa menyiarkan tayangan mereka," tutur staf pejabat yang tak mau disebutkan namanya.

Rohingya merupakan warga minoritas di kawasan Rakhine, yang hingga kekinian tak diakui sebagai warga negara di Myanmar. Mereka juga menjadi terget persekusi oleh militer.

Mayoritas media internasional menyebut komunitas itu sebagai Rohingya. Namun, pemerintah dan stasiun televisi lokal menyebut mereka sebagai "Bengali", yakni imigran ilegal dari Bangladesh meski mereka sudah berada di Rakhin sejak beberapa generasi.

Konflik Rohingya dan militer Myanmar kembali pecah dalam dua pekan terakhir. Persisnya sejak kelompok bersenjata Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menyerbu pos polisi dan menewaskan 30 orang, Kamis (25/8) dua pekan lalu.

Sejak insureksi tersebut, militer menerapkan daerah operasi di Rakhine. Sedikitnya 400 warga sipil dilaporkan tewas, dan 38 ribu warga lainnya terpaksa kabur ke arah perbatasan Myanmar-Bangladesh.

 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI