Petisi: Cabut Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi!

Minggu, 03 September 2017 | 01:21 WIB
Petisi: Cabut Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi!
Massa aksi pro-Rohingya membakar poster bergambar tokoh Myanmar Aung San Suu Kyi di depan kantor Kedubes Myanmar, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (2/9/2017). [Suara.com/Kurniawan Mas'ud]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sabtu (2/9/2017) petisi online untuk mendesak pencabutan nobel perdamaian pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi mulai bergulir. Petisi ini dibuat oleh aktivis AntiKorupsi Indonesia, Emerson Yuntho.

Sampai Sabtu malam, petisi itu sudah ditandatangani oleh 243.318 pendukung. Petisi itu akan diberikan kepada The Norwegian Nobel Committee 2016. Mereka yang akan dikirimkan adalah Chair of the Nobel Committee Kaci Kullman Five, Deputy Chair of the Nobel Committee Berit Reiss-Andersen, Member of the Nobel Committee Inger-Marie Ytterhorn, Member of the Nobel Committee Henrik Syse, Member of the Nobel Committee Thorbjørn Jagland dan Member of the Nobel Committee Olav Njolstad.

"Suu Kyi sebagai peraih Nobel Perdamaian seakan tuli dan tidak melakukan upaya untuk melindungi warga negaranya," kata Emerson dalam petisi itu.

Berikut isi petisi online yang diunggah ke situs petisi change.org:

Baca Juga: Soal Rohingya, SBY Singgung Status Tokoh Perdamaian Suu Kyi

Dalam beberapa waktu terakhir, dikabarkan bahwa militer Myanmar di bawah pemerintahan Aung San Suu Kyi melakukan pembantaian besar-besaran kepada warga Muslim Rohingya di wilayah Rakhine, Myanmar. Menurut laporan yang ada, warga Muslim Rohingya dikabarkan dibunuh dan disiksa secara fisik. Perempuan dan anak-anak juga merupakan korban dari pembantaian tersebut. Data dari European Rohingya Council (ERC) menyebutkan bahwa 3.000 Muslim Rohingya terbunuh selama tiga hari, pada tanggal 25-27 Agustus lalu. Desa tempat mereka tinggal pun dibakar. Militer pemerintahan berdalih bahwa ini merupakan upaya memberantas terorisme.

Hingga detik ini, pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi tidak melakukan upaya apapun untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di negerinya itu. Akibatnya, kini banyak warga Muslim Rohingya yang mengungsi dan terdampar di perbatasan Bangladesh. Organisasi Migrasi Internasional (IOM) melaporkan sedikitnya 18.445 Muslim Rohingya yang mengungsi (bbc.com).

Namun, Suu Kyi sebagai peraih Nobel Perdamaian seakan tuli dan tidak melakukan upaya untuk melindungi warga negaranya.

Bahkan, pada tahun 2013 lalu, Suu Kyi pernah mengeluarkan statement yang terkesan bernada anti Islam. “Tak ada yang memberi tahu bahwa saya akan diwawancarai oleh seorang muslim.”

Begitulah pernyataan Suu Kyi usai diwawancara presenter acara BBC Today, Mishal Husain pada tahun 2013. Kekesalan Suu Kyi disebabkan pertanyaan yang diajukan Husain mengenai penderitaan yang dialami oleh umat muslim di Myanmar.

Baca Juga: MUI Minta Myanmar Hentikan Kekerasan ke Rohingya

Suu Kyi juga diminta mengecam mereka yang antimuslim dan melakukan berbagai tindak kekerasan sehingga umat muslim suku Rohingya terpaksa meninggalkan Myanmar. (Dikutip dari Buku Biografi berjudul “The Lady and The Generals – Aung San Suu Kyi and Burma’s Strunggle for Freedom” yang ditulis oleh Peter Popham, jurnalis The Independent).

Banyak orang yang terkejut bahwa kata-kata itu keluar dari mulut Suu Kyi, seorang pejuang demokrasi dari Myanmar dan peraih Nobel Perdamaian tahun 2012. Pernyataan Suu Kyi yang bernada rasis barangkali hanya satu kalimat namun maknanya sangat mendalam bagi setiap orang yang mencintai perdamaian.

Tidak sedikit orang di sejumlah negara – termasuk Indonesia - yang kagum terhadap sosok Suu Kyi yang selama ini dikenal sebagai figur penyabar, berjuang dalam damai dan hingga akhirnya dapat merebut kekuasaan di Myanmar.

Namun pernyataan Suu Kyi mempermasalahkan seorang jurnalis Muslim pada akhirnya membuat banyak orang kecewa dan marah. Hal ini juga membuka kembali pertanyaan dunia internasional tentang sikap Suu Kyi terhadap kaum minoritas Muslim di Myanmar.

Suu Kyi dinilai tidak mengeluarkan pernyataan apapun terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia yng dialami oleh etnis minoritas muslim Rohingya. Selama tiga tahun terakhir lebih dari 140 ribu etnis muslim Rohingya hidup sengsara di kamp pengungsi di Myanmar dan di berbagai negara. Kini pembantaian secara besar-besaran yang dilakukan militer Myanmar terjadi.
Apa yang salah dari seorang Muslim, Suu Kyi? Bukankah Demokrasi dan Hak Asasi Manusia mengajarkan untuk menghormati setiap perbedaan keyakinan dan menjunjung tinggi persaudaraan. Apapun agamanya, harusnya Suu Kyi dan kita semua harus tetap saling menghormati setiap orang dan tidak bertindak diskriminatif sebagai sesama manusia.

Sebagai pejuang demokrasi maka pernyataan bersifat rasis sungguh tidak pantas diucapkan karena merusak nilai-nilai demokrasi yang menghargai perbedaan keyakinan dan perbedaan. Sebagai peraih perdamaian pernyataan rasis atau pembiaran terhadap kekerasan atau pembantantaian entnis Rohingya justru membuat perdamaian menjadi semu, memunculkan sikap saling curiga bahkan konflik.

Nobel Perdamaian adalah penghargaan tertinggi yang diberikan khusus “untuk orang-orang yang memberikan upaya terbesar atau terbaik bagi persaudaraan dan perdamaian antar bangsa...”

Nilai-nilai perdamaian dan persaudaraan ini harus tetap dijaga para penerima Nobel Perdamaian – termasuk Suu Kyi- hingga akhir hayatnya. Jika penerima Nobel tidak bisa menjaga “perdamaian” maka demi perdamaian dan persaudaraan sudah selayaknya perhargaan yang diterimanya harus dikembalikan atau dicabut oleh Komite Nobel, kami meminta Ketua Komite Nobel untuk mencabut Nobel Perdamaian yang diberikan untuk Suu Kyi. Hanya mereka yang sungguh-sungguh menjaga kedamaian yang layak menerima hadiah Nobel Perdamaian.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI