Berburu Rohingya, Kebencian Agama atau Perampasan Lahan?

Reza Gunadha Suara.Com
Sabtu, 02 September 2017 | 19:46 WIB
Berburu Rohingya, Kebencian Agama atau Perampasan Lahan?
Seorang perempuan etnis Rohingya menggendong bayinya setelah tiba di kota Yathae Taung, Rakhine, Myanmar, setelah kabur dari desanya yang diserbu militer, 26 Agustus 2017. [Wai Moe/AFP]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Selain mengubah sistem kepemilikan lahan, pemerintah juga membuat peraturan baru mengenai UU Investasi Asing, yang membolehkan investor-investor asing memunyai 100 persen saham kepemilikan perusahaan-perusahaan dalam negeri maupun proyek pembangunan.

Berkat perangkat baru hukum tersebut, petani-petani kecil di seantero Myanmar—yang mayoritas beragama Buddha—terlibat konflik dengan militer. Tak jarang dari mereka yang melakukan perlawanan terhadap militer maupun perusahaan yang ingin mengambilalih lahannya.

"Ironisnya, setelah kehilangan tanah, petani-petani kecil itu tak terserap masuk dalam industri. Sebab, banyak investasi asing terkonsentrasi pada sektor ekstraktif, bukan manufaktur, sehingga tak memerlukan banyak tenaga buruh," terang Saskia.

Contohnya, proyek pembangunan pipa "Myanmar's Yadana pippeline project", yang menyedot investasi asing senilai 800 Miliar Euro hanya menyerap 800 buruh dari kalangan warga Myanmar.

Baca Juga: Setara: Indonesia Harus Pelopori Invervensi Kemanusiaan Rohingya

Sama-sama Ditindas

Berdasarkan data dan fakta hasil penelitian tersebut, Saskia menilai isu kebencian agama dan etnis Rohingya, sebenarnya tidak terjadi secara natural di kalangan warga Myanmar.

Menurutnya, pemerintah maupun militer Myanmar justru yang menciptakan dan terus "memupuk" konflik berdarah antara warga Buddhis dan etnis Rohingya yang muslim. Dengan begitu, Saskia menilai militer dan pemerintah Myanmar yang pro-pemodal memunyai dua keuntungan.

Pertama, kata dia, persekusi atau pembantaian Rohingya memudahkan militer untuk menguasai lahan-lahan kosong di daerah Rakhine dan bisa didistribusikan untuk keperluan investor swasta.

"Keuntungan kedua, dengan terus mewacanakan konflik antargama antara Buddha dan Muslim Rohingya, maka perlawanan petani-petani kecil yang mayoritas kaum Buddhis terhadap militer dan pemerintah bisa diminimalisasi. Perlawanan mereka dialihkan secara horizontal, yakni antarrakyat," tandasnya.

Baca Juga: Moratorium TKI Sebabkan Perdagangan Manusia Naik

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI