Berburu Rohingya, Kebencian Agama atau Perampasan Lahan?

Reza Gunadha Suara.Com
Sabtu, 02 September 2017 | 19:46 WIB
Berburu Rohingya, Kebencian Agama atau Perampasan Lahan?
Seorang perempuan etnis Rohingya menggendong bayinya setelah tiba di kota Yathae Taung, Rakhine, Myanmar, setelah kabur dari desanya yang diserbu militer, 26 Agustus 2017. [Wai Moe/AFP]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

"Dalam penelitianku, persoalan agama dan etnisitas hanya bagian dalam penjelasan kenapa pembantaian Rohingya terjadi. Tapi, persoalan utamanya bukan kedua hal itu, melainkan perampasan tanah oleh militer untuk kepentingan perusahaan besar. Ini bermotif ekonomi," tulis Saskia.

Perampasan Tanah

Dua dekade terakhir terjadi peningkatan akuisisi atau perpindahan kepemilikan lahan garapan dari warga ke perusahaan-perusahaan besar yang bergerak dalam usaha pertambangan, kayu, pertanian, dan air, di seluruh dunia.

Dalam kasus Myanmar, merujuk buku laporan Centre on Housing Rights and Evictions (COHRE) tahun 2007 berjudul "Displacement And Dispossession: Forced Migration and Land Rights, Burma", pihak militer telah menguasai hamparan tanah garapan secara luas dari petani-petani kecil sejak tahun 1990-an.

Baca Juga: Setara: Indonesia Harus Pelopori Invervensi Kemanusiaan Rohingya

"Pengambilalihan lahan garapan oleh militer itu tanpa kompensasi bagi petani kecil, melainkan melalui ancaman jika mereka mencoba melawan. Perebutan lahan ini terus berlanjut selama beberapa dekade namun telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir," tulis Saskia.

Ketika persekusi militer terhadap Rohingnya kembali menghebat pada tahun 2012, alokasi lahan hasil akuisisi mliter Myanmar untuk keperluan proyek swasta besar juga mengalami peningkatan, yakni mencapai 170 persen.

Pada tahun yang sama dengan aksi militer di Rakhine, pemerintah Myanmar juga merevisi undang-undang pokok agraria dan pertahanan agar mendukung proses akuisisi yang menguntungkan perusahaan-perusahaan besar.

Hamparan data tersebut lantas membawa Saskia terhadap satu kecurigaan, "Apakah penganiayaan yang tajam dari kelompok Rohingya dan kelompok minoritas lainnya mungkin bukan karena didasari masalah agama maupun etnis, tapi kepentingan ekonomi militer?"

Baca Juga: Moratorium TKI Sebabkan Perdagangan Manusia Naik

Sasksia cenderung menilai, operasi militer Myanmar yang membawa banyak korban di kalangan Rohingya itu justru agar mereka terusir dan bisa mengambilalih lahan-lahan garapan guna dijual atau disewakan kepada perusahaan-perusahaan besar.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI