5. Dalam menjalankan fungsi koordinasi, KPK cenderung berjalan sendiri tanpa mempertimbangkan esksistensi, jati diri, kehormatan dan kepercayaan publik atas lembaga-lembaga negara, penegak hukum. KPK lebih mengedepankan praktek penindakan melalui pemberitaan (opini) daripada politik pencegahan.
6. Dalam hal fungsi supervisi, KPK Iebih cenderung menangani sendiri tanpa koordinasi, dibandingkan dengan upaya mendorong, memotivasi dan mengarahkan instansi kepolisian dan kejaksaan. KPK cenderung ingin menjadi lembaga yang tidak hanya di Pusat tapi ingin mengembangkan jaringan sampai ke daerah. Yang sesungguhnya KPK dibentuk lebih pada Fungsi Koordinasi dan Supervisi. Adapun penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Iebih pada fungsi berikutnya.
7. Dalam menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK sama sekali tidak berpedoman pada KUHAP dan mengabaikan prinsip-prinsip Hak Asasi manusia bagi para pihak yang menjalani pemeriksaan. Didapatkan bebagai praktek tekanan, ancaman, bujukan dan janji-janji. Bahkan juga didapatkan kegiatan yang membahayakan fisik dan nyawa. Pencabutan BAP dipersidangan, kesaksian palsu yang direkayasa, hal-hal itu terjadi dan kami dapatkan. Ke depan tentunya hal-hal itu perlu ada langkah-langkah perbaikan.
8. Terkait dengan SDM Aparatur KPK, kembali KPK dengan argumen independennya, merumuskan dan menata SDM nya yang berbeda dengan unsur aparatur pada Iembaga negara pada umumnya yang patuh dan taat kepada UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan UU Aparatur Negara lainnya seperti UU Kepolisian, UU Kejaksaan. KPK dengan argumen independen tidak tepat dan tidak memiliki Iandasan hukum yang cukup hanya dengan PP. Apalagi PP Nomor 103 Tahun 2012 tentang SDM KPK sebagaimana telah dirubah dari PP Nomor 63 Tahun 2005, mendasarkannya kepada UU KPK yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi bukan tentang SDM Aparatur. Walaupun ada putusan MK Nomor 109 Tahun 2015 atas hal tersebut, kedepan harus dikembalikan dan diperbaiki secara hukum yang benar, agar tidak menimbulkan dualisme pengaturan di bidang aparatur negara di internal KPK seperti adanya organisasi wadah pegawai, penyidik independen yang bisa berbeda kebijakan dengan atau bagi aparatur KPK lainnya.
9. Terkait dengan penggunaan anggaran, berdasarkan hasil audit BPK, banyak hal yang belum dapat dipertanggunjawabkan dan belum ditindaklanjuti atas temuan tersebut. Untuk itu dibutuhkan audit lanjutan BPK untuk tujuan tertentu. Dari audit tersebut dapat diketahui secara pasti pencapaian sasarannya utamanya yang terkait dengan kinerja KPK. Ke depan BPKjuga perlu mengaudit atas sejumlah barang-barang sitaan dan barang-barang rampasan dari kasus-kasus yang ditangani KPK atas temuan-temuan Pansus di lima kantor RUPBASAN pada wilayah hukum Jakarta dan Tangerang yang tidak didapatkan data-data BASAN dan BARAN dalam bentuk uang, rumah, tanah dan bangunan di Rumah Penyimpanan Barang Sitaan dan Rampasan Negara.
10. Terhadap sejumlah kasus yang sedang ditangani oleh KPK, pansus memberikan dukungan penuh untuk terus dijalankan sesuai dengan aturan hukum positif yang berlaku dan menjunjung tinggi HAM, dan untuk itu Komisi III DPR RI wajib melakukan fungsi pengawasan sebagaimana dilakukan terhadap lnstansi Kepolisian dan Kejaksaan melalui Rapat-rapat Kerja, RDP dan Kunjungan Lapangan atau Kunjungan Spesifik.
11. Akan halnya mengenai sejumlah kasus atau permasalahan yang terkait dengan unsur pimpinan, mantan pimpinan, penyidik dan penuntut umum KPK, yang menjadi pemberitaan di publik seperti Iaporan Niko Panji Tirtayasa di Bareskrim, kasus penyiraman penyidik Novel Baswedan, kematian Johannes Marliem, rekaman kesaksian Miryam S. Haryani, pertemuan Komisi Ill DPR dengan penyidik KPK : kiranya Komisi HI DPR RI dapat segera mengundang pihak KPK dan POLRI dalam melaksanakan fungsi pengawasan agar tidak terjadi polemik yang tidak berkesudahan.