Ia mengatakan, buku itu diajarkan di kelas sastra agar para mahasiswa bisa memahami bentuk dekonstruksi kebudayaan melalui kritik sastra.
"Dalam kategori sastra, buku itu sangat indah. 'Paradise Lost' adalah mahakarya, dan saya mencoba membandingkannya dengan literatur Arab sehingga akan terasa lebih dekat dengan mahasiswa. Saya meminta mereka untuk membaca tentang citra Tuhan dan citra Setan seperti yang disajikan dalam karya sastra," jelasnya.
Dalam kelas, kata dia, para mahasiswa juga diminta membandingkan buku "Paradise Lost" dengan buku "The Last Words of Spartacus". Buku yang disebut terakhir adalah kumpulan puisi karya penyair Mesir, Amal Dunqul, yang juga membahas sosok Setan dalam kategori sastra.
Para mahasiswa, sambung Mona, juga tak mengajukan keluhan maupun kritik ketika dirinya memperkenalkan 'Paradise Lost' sebagai buku yang bakal dibahas dalam satu semester.
Baca Juga: Wajah Donald Trump Dicetak jadi Pil Ekstasi
Karenanya, Mona menilai tuduhan yang diajukan rektorat kepadanya cenderung mengada-ada dan tak pantas dilakukan oleh institusi pendidikan.
"Ironis, tuduhan itu mengingatkanku kepada apa yang terjadi terhadap kaum perempuan di abad pertengahan. Mereka dikejar dan dibakar karena dituduh pemuja setan. Oh, sekarang aku menunggu mereka membakarku," sindirnya.
Mona yang juga dikenal sebagai feminis dan aktivis perempuan Mesir tersebut menuturkan, ia kerapkali menjadi sasaran ejekan laki-laki dosen di universitas tersebut.
"Sejak aku menjadi dosen di Suez University tahun 1999, banyak laki-laki dosen yang mencemooh. Mereka kerap menuduhku bukan profesor yang baik sebagai teladan mahasiswa. Sayang sekali, itu justru menunjukkan pemikiran mereka sangat konservatif ketimbang ilmiah," tandasnya.
Baca Juga: Selain 'Bendera Terbalik', Polisi Ini Juga Bikin Geger SEA Games