Yusman Telaumbanua, pemuda asal Nias, Sumatera Utara, yang baru saja bebas dari hukuman mati yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Gunung Sitoli, Nias, menceritakan kisah penyiksaan yang ia alami dari aparat kepolisian.
Yusman bersama seorang temanya, yang tidak lain adalah kakak iparnya, Rasula Hia, dituduh sebagai pelaku pembunuhan berencana terhadap tiga orang pada pada tahun 2012. Ia ditangkap di Riau dan digelandang ke Nias.
Selama berada ditahanan Polisi, dia mengaku mendapat penyiksaan dari para penyidik. Dipaksa menceritakan kronologia pembunuhan yang dia sendiri tidak merasa melakukannya.
"Sampai aku di Nias mendapatkan siksa dari polisi. Terus aku disuruh cerita semua kasus pembunuhan itu. Aku bilang tidak tahu, karena bukan aku yang melakukan. Aku tidak ada disitu," kata Yusman di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Jalan Keramat II, Jakarta Pusat, Selasa (22/8/2017).
Seminggu setelah Yusman ditahan, Rasula menyusulnya ke dalam sel. Keduanya diintrogasi dengan cara kekerasan.
"Kalau masih di sel polisi itu kami dipanggil dari jam 9.00 pagi kadang dikasih makan, kadang ngggak. Baru dipulangkan nanti jam 5.00 sore, dari situ kami kena pukul terus menerus," ujar Yusman.
Suatu hari, keduanya dibawa untuk dilakukan olah TKP. Sambil diminta mempraktekkan bagaimana kasus tersebut terjadi, keduanya tak henti-hentinya dipukul. Sementara mereka merasa tak tahu bagaimana proses kejadian yang sebenarnya.
"Aku tidak ada di tempat. Aku dulu lari dari tempat itu waktu aku tahu akan ada pembunuhan. Empat orang itu keluarkan parang di punggungnya aku langsung lari. Aku tidak lihat itu," tutur Yusman.
Agar dia tetap bisa diproses hukum, penyidik melakukan manipulasi pada umurnya, yang semula 16 tahun jadi 19 tahun. Ia dipaksa untuk mengaku bahwa dirinya lahir pada tahun 1993 yang semestinya tahun 1996. Saat itu, ia tidak memiliki dokumen yang bisa membuktikan usianya.
"Aku cerita kepada polisi itu umurku masih 16 tahun. Lahir tahun 1996. Dia bilang kamu tahu dari mana, aku bilangin kalau nggak mau dengar aku, ke kampung aku saja. Masih ada di Kelurahan, ada di keluargaku. Tapi tidak mau dengar, aku dikasih di berkas 19 tahun, lahir tahun 1993," ujar Yusman.
Perihal umur, polisi agak kesulitan. Sebab Yusman tetap kekeh bahwa ia masih berumur 16 tahun, meski ia terus dipaksa dan selalu mendapat siksaan agar ia mengaku berusi 19 tahun.
"Waktu di TKP juga, ada polisi bilang, Yusman, kalau ada jaksa yang tanya umur kamu berapa, kamu bilang 19 tahun. Kamu lahir tahun 1993. Ingat itu. Biar kamu dimudahkan nanti," kata Yusman meniru ucapan Polisi kepadanya.
Namun, saat bertemu dengan jaksa, ia tetap mengakui berusia 16 tahun. Saat itu, terjadi perdebatan antara penyidik dengan jaksa karena berkas tidak sesuai dengan yang diucapkan Yusman.
"Jaksa itu kaget. Dipanggilnga lagi polisi. Kok dia bilang umurnya ini masih 16 tahun. Nah, aku ditarik lagi ke ruangan, aku dipukul lagi. Dibilang sama dia, kamu ini, kita bantu tapi kamu menyusahkan kita. Biki malu saja kamu ini," tutur Yusman.
"Sudah, nanti kamu ikuti saja yang ada di berkas itu. Nanti dipengadilan kami bantu. Kamu jangan melawan lagi. Pokoknya kamu ikuti saja itu," Yusman menambahkan.
Satu minggu kemudian, tepatnya di bulan Maret 2013, berkas mereka dilimpahkan ke pengadilan. Mereka didampingi seorang pengacara yang dirugaskan negara untuk melakukan pembelaan kepada keduanya. Akan tetapi, bukannya membantu, malah pengacara tersebut yang meminta mereka dihukum mati.
"Pengacara Lakade Dolaia katakan mereka tidak pantas hidup. Kalau boleh ditembak ditempat saja. Kata pengacaranya. Kalau nggak dikasih hukuman mati saja. Bukan bantu dia. Dia yang minta kami ditempat saja," kata Yusman.
Setelah diputus hukuman mati, ia dan Rasula tinggal menunggu jadwal eksekusi. Hingga suatu saat, tim dari lembaga Komisi untuk orang hilang dan korban tindak kekerasan dapat informasi bahwa ada anak di bawah umur yang akan dihukum mati.
Akhir tahun 2014, tim Kontas datang ke Lapas Batu Nusakambangan di Cilacap untuk menemui Yusman dan Rasula.
"Fakta-fakta mengenai rekayasa kasus terhadap Yusman dan kakak iparnya baru diketahui oleh Kontras pada akhir tahun 2014," kata Wakil Koordinator Bidang Advokasi Kontras, Putri Kanesia.
Setelah mendapat bantuan hukum dari Kontras, Januari tahun 2017, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan pembatalan vonis mati PN Gunung Sitoli terhadap Yusman. Ia kemudian ditahan selama lima tahun dan bebas pada tanggal 17 Agustus 2017, tepat pada hari ulang Tahun kemerdekaan RI ke 72.
Yusman bersama seorang temanya, yang tidak lain adalah kakak iparnya, Rasula Hia, dituduh sebagai pelaku pembunuhan berencana terhadap tiga orang pada pada tahun 2012. Ia ditangkap di Riau dan digelandang ke Nias.
Selama berada ditahanan Polisi, dia mengaku mendapat penyiksaan dari para penyidik. Dipaksa menceritakan kronologia pembunuhan yang dia sendiri tidak merasa melakukannya.
"Sampai aku di Nias mendapatkan siksa dari polisi. Terus aku disuruh cerita semua kasus pembunuhan itu. Aku bilang tidak tahu, karena bukan aku yang melakukan. Aku tidak ada disitu," kata Yusman di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Jalan Keramat II, Jakarta Pusat, Selasa (22/8/2017).
Seminggu setelah Yusman ditahan, Rasula menyusulnya ke dalam sel. Keduanya diintrogasi dengan cara kekerasan.
"Kalau masih di sel polisi itu kami dipanggil dari jam 9.00 pagi kadang dikasih makan, kadang ngggak. Baru dipulangkan nanti jam 5.00 sore, dari situ kami kena pukul terus menerus," ujar Yusman.
Suatu hari, keduanya dibawa untuk dilakukan olah TKP. Sambil diminta mempraktekkan bagaimana kasus tersebut terjadi, keduanya tak henti-hentinya dipukul. Sementara mereka merasa tak tahu bagaimana proses kejadian yang sebenarnya.
"Aku tidak ada di tempat. Aku dulu lari dari tempat itu waktu aku tahu akan ada pembunuhan. Empat orang itu keluarkan parang di punggungnya aku langsung lari. Aku tidak lihat itu," tutur Yusman.
Agar dia tetap bisa diproses hukum, penyidik melakukan manipulasi pada umurnya, yang semula 16 tahun jadi 19 tahun. Ia dipaksa untuk mengaku bahwa dirinya lahir pada tahun 1993 yang semestinya tahun 1996. Saat itu, ia tidak memiliki dokumen yang bisa membuktikan usianya.
"Aku cerita kepada polisi itu umurku masih 16 tahun. Lahir tahun 1996. Dia bilang kamu tahu dari mana, aku bilangin kalau nggak mau dengar aku, ke kampung aku saja. Masih ada di Kelurahan, ada di keluargaku. Tapi tidak mau dengar, aku dikasih di berkas 19 tahun, lahir tahun 1993," ujar Yusman.
Perihal umur, polisi agak kesulitan. Sebab Yusman tetap kekeh bahwa ia masih berumur 16 tahun, meski ia terus dipaksa dan selalu mendapat siksaan agar ia mengaku berusi 19 tahun.
"Waktu di TKP juga, ada polisi bilang, Yusman, kalau ada jaksa yang tanya umur kamu berapa, kamu bilang 19 tahun. Kamu lahir tahun 1993. Ingat itu. Biar kamu dimudahkan nanti," kata Yusman meniru ucapan Polisi kepadanya.
Namun, saat bertemu dengan jaksa, ia tetap mengakui berusia 16 tahun. Saat itu, terjadi perdebatan antara penyidik dengan jaksa karena berkas tidak sesuai dengan yang diucapkan Yusman.
"Jaksa itu kaget. Dipanggilnga lagi polisi. Kok dia bilang umurnya ini masih 16 tahun. Nah, aku ditarik lagi ke ruangan, aku dipukul lagi. Dibilang sama dia, kamu ini, kita bantu tapi kamu menyusahkan kita. Biki malu saja kamu ini," tutur Yusman.
"Sudah, nanti kamu ikuti saja yang ada di berkas itu. Nanti dipengadilan kami bantu. Kamu jangan melawan lagi. Pokoknya kamu ikuti saja itu," Yusman menambahkan.
Satu minggu kemudian, tepatnya di bulan Maret 2013, berkas mereka dilimpahkan ke pengadilan. Mereka didampingi seorang pengacara yang dirugaskan negara untuk melakukan pembelaan kepada keduanya. Akan tetapi, bukannya membantu, malah pengacara tersebut yang meminta mereka dihukum mati.
"Pengacara Lakade Dolaia katakan mereka tidak pantas hidup. Kalau boleh ditembak ditempat saja. Kata pengacaranya. Kalau nggak dikasih hukuman mati saja. Bukan bantu dia. Dia yang minta kami ditempat saja," kata Yusman.
Setelah diputus hukuman mati, ia dan Rasula tinggal menunggu jadwal eksekusi. Hingga suatu saat, tim dari lembaga Komisi untuk orang hilang dan korban tindak kekerasan dapat informasi bahwa ada anak di bawah umur yang akan dihukum mati.
Akhir tahun 2014, tim Kontas datang ke Lapas Batu Nusakambangan di Cilacap untuk menemui Yusman dan Rasula.
"Fakta-fakta mengenai rekayasa kasus terhadap Yusman dan kakak iparnya baru diketahui oleh Kontras pada akhir tahun 2014," kata Wakil Koordinator Bidang Advokasi Kontras, Putri Kanesia.
Setelah mendapat bantuan hukum dari Kontras, Januari tahun 2017, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan pembatalan vonis mati PN Gunung Sitoli terhadap Yusman. Ia kemudian ditahan selama lima tahun dan bebas pada tanggal 17 Agustus 2017, tepat pada hari ulang Tahun kemerdekaan RI ke 72.