Dua Mantan Kombatan GAM Uji Materi UU Pemilu ke MK

Selasa, 22 Agustus 2017 | 16:01 WIB
Dua Mantan Kombatan GAM Uji Materi UU Pemilu ke MK
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. [Suara.com/Adhitya Himawan]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Dua mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ‎Samsul Bahri Bin Amiren dan Kautsar mengajukan Judicial Review terkait Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi, Selasa (22/8/2017). Dua bekas kombatan GAM ini merupakan anggota DPR Aceh, yakni Samsul dari Partai Nanggroe Aceh (PNA) dan Kautsar dari Partai Aceh (PA).

Mereka menilai UU Pemilu ini mencabut pasal Undang-undang Pemerintah Aceh yang menghilangkan Kekhususan Aceh.

"Kami telah mengajukan Judicial Review terhadap pencabutan pasal 57 dan pasal 60 UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) ke MK," kata Kamaruddin, selaku tim kuasa hukum kepada Suara.com di Jakarta, Selasa (22/8/2017).

‎Dia menjelaskan, permohonan uji materi UU No 7 Tahun 2017 oleh dua politisi yang punya latar belakang pejuang GAM ini bertujuan untuk mempertahankan kekhususan Aceh. Sebagai mantan kombatan GAM, kedua politisi itu merasa punya tanggung jawab moril untuk menjaga capaian-capaian politik Aceh.

Baca Juga: Presiden Jokowi Sudah Teken UU Pemilu yang Baru

Dia menyebutkan, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh‎ yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi. Sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI.

"Sehingga dengan dicabutnya Pasal 57 dan Pasal 60 UUPA melalui UU Pemilu disahkan DPR RI, kami menilai pemerintah pusat mulai memangkas kekhususan Aceh," tutur dia.

Dia menambahkan, yang di uji materi adalah Pasal 557 Ayat (1) huruf a, b dan Ayat (2), serta Pasal 571 huruf D. Disebutkan bahwa Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2), serta ayat (4) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Menurutnya keseluruhan pasal yang disebutkan dalam Pasal 571 huruf D itu berkaitan erat dengan penyelenggaraan pemilu di Aceh, yakni Komisi Independen Pemilihan Aceh (KIP Aceh)‎ dan Panwaslih Aceh, yang menurut pembentuk harus dicabut dan disesuaikan dengan UU Pemilu. Padahal pembentuk UU di sini keliru memahami asa pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan benar, sehingga bisa terjadi penggerusan terhadap pasal-pasal yang menjadi domain dari kekhususan Aceh.

"Terlebih yang dipersoalkan dan dicabut itu terkait dengan jumlah komposisi komisioner KIP Aceh dan masa kerja anggota KIP Aceh, serta Panwaslih Aceh. Dan itu tak terlalu esensial dari penyelenggaraan pemilu di Aceh," kata dia.

Baca Juga: Usai dari KPU, Grace Natalie Gugat Pasal UU Pemilu ke MK

Di dalam UUPA itu, lanjut dia, sudah sangat jelas. Mengatur bahwa terkait dengan kekhususan Aceh, DPR seharusnya berkonsultasi dan meminta pertimbangan DPR Aceh terlebih dahulu, sebelum merumuskan peraturan yang berkaitan dengan Aceh ke dalam‎ suatu rancangan UU.

‎"Dalam pasal 8 ayat (2) dan Pasal 269 UUPA sudah mengatur tentang konsultasi untuk mendapatkan pertimbangan DPRA terhadap RUU yang berkaitan dengan Provinsi Aceh. Sehingga DPR seharusnya tidak asal main cabut dan menyatakan tidak berlaku seperti itu," terang dia.

Dia menambahkan, ada mekanisme konstitusional yang seharusnya dipahami oleh para pembentuk undang-undang, bahwa Aceh itu adalah daerah yang bersifat istimewa dan khusus. Sehingga negara harus menghormatinya, karena itu amanat konstitusi di dalam Pasal 18 A ayat (1) dan Pasal 18 B ayat (1).

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI