Suara.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mendesak pemerintah segera melakukan evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penerapan hukuman mati. Hal ini menyusul bebasnya terpidana mati, Yusman Telaumbanua, yang diduga menjadi korban ketidakadilan hukum.
"Kami meyakini masih banyak terpidana mati lainnya yang saat ini tengah menghadapi ancaman hukuman mati akibat adanya rekayasa kasus atau proses peradilan yang tidak adil sejak ditingkat penyidikan," kata Wakil Koordinator Bidang Advokasi Kontras, Putri Kanesia, di kantor Kontras, Jalan Keramat II, Jakarta Pusat, Selasa (22/8/2017).
Kontras merupakan kuasa hukum Yusman yang berhasil dibebaskan pada tanggal 17 Agustus 2017 kemarin. Ia bersama kakak iparnya, Rasula Hia, divonis hukuman mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Gunungsitoli, Nias, atas kasus pembunuhan berencana terhadap tiga orang pada tahun 2013.
Menurut Putri pada proses peradilan yang dijalaninya, kuat dugaan bahwa Yusman bersama Rasula menjadi korban rekayasa kasus. Pasalnya, keduanya dipaksa menandatangani berita acara pemeriksaan tahu isinya.
Selain itu, Yusman dan Rasula juga mendapatkan siksaan dari penyidik agar mau mengikuti semua proses hukum yang telah direkayasa.
"Yusman tidak diberi bantuan penerjemah bahasa Nias, padahal yang bersangkutan saat itu belum bisa berbicara dan menulis bahasa Indonesia," ujar Putri.
Selain itu, status Yusman sebagai remaja putus sekolah yang tidak memiliki identitas atau dokumen hukum apapun yang menunjukkan usianya yang masih dibawah umur, saat itu dijadikan kesempatan oleh penyidik untuk mengubah identitasnya menjadi usia dewasa.
"Sehingga hak-haknya sebagai terdakwa anak banyak dilanggar. Proses pembuktian di persidangan pun dinilai sangat lemah karena jaksa penuntut umum hanya mampu menghadirkan saksi-saksi yang tidak berada di lokasi kejadian dan tidak mengetahui pasti peristiwa," tutur Putri.
Menurut Putri fakta-fakta mengenai rekayasa kasus terhadap Yusman dan Rasula baru diketahui oleh Kontras pada akhir tahun 2014, ketika tim Kontras bertemu dengan Yusman di lembaga pemasyarakatan Batu, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Dalam proses peradilan, Kontras berhasil membebaskan Yusman dari ancaman hukuman mati menjadi hukuman penjara selama lima tahun.
"Tepat dimomentum HUT RI ke 72 Yusman akhirnya bebas setelah menjalani pidana penjara lima tahun lamanya. Pembebasan ini terjadi pasca Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yang membatalkan vonis mati PN Gunung Sitoli sebelumnya terhadap Yusman pada Januari 2017 ini," tutur Putri.
Sedangkan terhadap Rasula, Putri mengaku agak kesulitan melakukan pembelaan hukum karena yang bersangkutan mengalami gangguan psikis setelah mengalami siksaan berkali-kali. Ia berharap dengan keluarnya Yusman, Rasula mau menerima bantuan hukum dari Kontras.
Putri mengatakan pembatalan vonis hukuman mati oleh Mahkamah Agung menjadi vonis lima tahun penjara terhadap Yusman menguatkan fakta bahwa sistem peradilan di Indonesia masih sangat rentan akan adanya kekeliruan atau kesalahan yang dapat berakibat fatal terlebih bagi mereka yang dituntut dan divonis hukuman mati.
Dia menekankan prinsip kehati-hatian seringkali dilanggar dalam setiap tahapan proses hukum hanya demi menunjukkan sebuah sikap ketegasan pemerintah dalam mengatasi berbagai persoalan hukum di Indonesia.
"Kami tentunya masih ingat berbagai kejanggalan dan pelanggaran atas proses hukum yang dialami terpidana mati gelombang I, II dan III yang telah dieksekusi mati di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo ini," ujar Putri.
"Sebut saja Rodrigo Gularte, warga negara Brazil yang dieksekusi mati meski telah terbukti secara medis memiliki gangguan kesehatan jiwa dan harus dirujuk ke RS jiwa. Humprey Ejike Jefferson, warga negara Nigeria dan Freddy Budiman warga negara Indonesia yang tetap di eksekusi mati meski tengah mengajukan upaya hukum grasi, dan masih banyak lainnya," Putri menambahkan.