Suara.com - Terdakwa kasus tindak pidana korupsi Patrialis Akbar membacakan nota pembelaan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Senin (21/8/ 2017).
Dalam pleidoi, Patrialis mengatakan terdapat kesalahan yang dilakukan oleh penyidik KPK saat menangkap dirinya dengan cara operasi tangkap tangan.
"Saya dinyatakan tertangkap tangan oleh KPK tanggal 25 Januari 2017. Padahal penangkapan terhadap diri saya sama sekali tidak memenuhi ketentuan Pasal 1 Ayat 19 KUHP," kata Patrialis.
Menurut Patrialis pada saat ditangkap, dia tidak dalam keadaan sedang melakukan tindak pidana, tidak sesaat setelah melakukan tindak pidana, tidak ada barang bukti dalam melakukan tindak pidana dan tidak ada teriakan khalayak ramai.
"Penangkapan terhadap diri saya dengan cara seperti itu jelas melanggar hukum dan ilegal," ujar Patrialis.
Berdasarkan dokumen yang ada dalam berkas perkara dan yang tertulis dalam surat tuntutan kepada Basuki Hariman yang dalam perkara juga ini ditetapkan sebagai terdakwa pemberi suap kepada dia, ternyata surat perintah penyelidikan terhadap dirinya sudah dikeluarkan tanggal 7 Oktober 2016. Namun, oleh penyidik KPK ia ditangkap tanggal 25 Januari 2017.
Seharusnya, kata dia, apabila ada indikasi dirinya melakukan tindak pidana korupsi, seharusnya KPK melakukan panggilan secara patut. Apalagi, KPK juga memiliki fungsi preventif.
"Namun OTT sengaja dilakukan agar gentar republik ini. Targetnya saya berhenti dulu jadi hakim MK berhasil dilakukan," kata Patrialis.
Hebatnya lagi, kata dia, malam itu, saat dilakukan OTT, dirinya sedang bersama lima orang yang tidak ada hubungannya dengan kasus pidana yang dituduhkan kepada dia. Akan tetapi, KPK hanya membawa satu orang saja sehingga seakan-akan dirinya tertangkap dengan seorang wanita.
"Luar biasa skenario fitnah yang dilontarkan oleh KPK. OTT yang dilakukan oleh KPK terhadap diri saya seperti menerapkan hukum rimba, yang penting tangkap dulu, sikat dulu, tahan dulu, bikin penderitaan dulu, masalah hukumannya urusan belakangan," tutur Patrialis.
Kata dia, kelihatannya dengan cara-cara tersebut negara ini kembali ke alam gelap, hidup tanpa aturan ibarat di tengah hutan belantara. Siapa yang kuat, dialah yang menguasai. Kata dia, inikah wujud kecintaan bangsa ini dengan Pancasila, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dan Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
"Sebagaimana yang saya rasakan, di mana HAM di negeri ini? Di mana Komnas HAM? Di mana pegiat HAM? Di mana perguruan tinggi dan akademisi? Di mana DPR RI? Di mana konstitusi? Kenapa kalian pada diam saat dipertontonkan perampasan HAM secara terbuka di tengah-tengah bangsa ini?" kata Patrialis.