Suara.com - Komisi Pemberantasan Korupsi terus dalami peran Ketua DPR Setya Novanto dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).
Setelah sebelumnya peran Novanto dibuka dalam dakwaan terdakwa Andi Agustinus alias Andi Agustinus, kini KPK memeriksa sejumlah saksi pada hari ini, Rabu (16/8/2017).
Mereka antara lain mantan Direktur Keuangan, SDM dan Umum Perum PNRI Deddy Supriadi dan PNS Direktorat Jenderal Kependuduk dan Catatan Sipil Dwi Puspita Rini.
KPK juga memeriksa saksi kalangan swasta, diantaranya Onny Hendro Adhiaksono, Heldi alias Ipong, Marketing Advisor PT. Selaras Kon Pratama, Shin Cheon Ho, dan Direktur PT Cisco Systems Indonesia Charles Sutanto Ekapradja.
Baca Juga: Patrialis Tak Dituntut Seumur Hidup Seperti Akil, Ini Kata KPK
"Mereka diperiksa sebagai saksi untuk tersangka SN," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
KPK menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka karena diduga mengatur proyek e-KTP mulai dari proses perencanaan dan pembahasan anggaran hingga pengondisian pemenang lelang di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tahun anggaran 2011-2012.
Novanto melakukan pengaturan tersebut melalui pengusaha rekanan Kemendagri, Andi Narogong dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi terkait jabatannya.
Akibat hal itu, negara mengalami kerugian keuangan atau perekonomian setidak-tidaknya Rp2,3 triliun dari proyek senilai Rp5,9 triliun karena pembayaran barang-barang untuk e-KTP di luar harga wajar.
Adapun rincian akibat kemahalan itu, yakni total pembayaran ke konsorsium PNRI Rp4,9 triliun dari 21 Oktober 2011 sampai dengan 30 Desember 2013.
Baca Juga: 'Nyanyian' Miryam Pejabat KPK Temui Komisi III, Begini Respon KPK
"Harga wajar (riil) e-KTP tersebut diperkirakan Rp 2,6 trilyun," kata Febri.
Atas perbuatan itu KPK menyangka Setya Novanto melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) kesatu KUHP.