Penulis buku 'Indonesia Tidak Hadir di Bumi Indonesia' Max Lane mengkritisi masyarakat Indonesia yang tidak bisa menentukan masa depan negaranya sendiri. Hal itu dikatakannya, karena hampir semua masyarakat Indonesia tidak bisa menjawab kalau dia bertanya bagaiman model Indonesia setelah 50 tahun lagi.
"Orang-orang terdahulu, mereka berjuang dan berkorban untuk mendapatkan kemerdekaan dengan susah, tapi setelah merdeka mau apa?," kata Max dalam diskusi peluncuran buku terbarunya 'Indonesia Tidak Hadir di Bumi Indonesia' di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (12/8/2017).
Namun, ternyata hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia. Hal yang sama juga menurut penulis buku tentang karya Parmoedya Ananta Toer tersebut terjadi di Australia.
Baca Juga: 88 Suzuki Jimny untuk Indonesia Tak Ditemukan di Negara Lain
"Saya khawatir sekarang, saya tanya siswa saya di Australia, kalau 50 tahun ke depan, kamu ingin Austraia mau jadi apa? Rata-rata nggak bisa jawab," kata Max.
Dia mengatakan, hal seperti itu tentu sangat membahayakan masa depan negara. Sebab, yang diinginkan oleh orang saat ini adalah masa depan itu, hanya terus seperti saat ini hingga kiamat.
"Dan celakanya kalau masyarakat terus begini, begini terus, hari kiamat akan datang lebih cepat," kata Max.
Karena itu dia pun mengingatkan masyaralat Indonesia agar tidak melupakan sedikitpin tentang lamanya masa Sleharto menguasai Indonesia. Sebab, meskipun Indonesia sudah merdeka sejak tahun 1945, sesungguhnya masih banyak masyarakat yang merasa belum merdeka.
"Jangan kita sekali-sekali tidak sadar berapa lama Soeharto berkuasa. Kalau orang yang belajar sejarah, dia pasti jawab 32 tahun, iti benar. Tapi saya menjelaskannya tidak seperti ini. Belanda meninggalkan Indonesia tahun berapa?," kata Maxt
Baca Juga: Suzuki Luncurkan 88 Unit Jimny di Indonesia, Inden Sudah 205 Unit
Diketahui, buku 'Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia' karya Max Lane ini, terdiri dari esai-esai tentang karya Pramoedya Ananta Toer. Itu merupakan hasil interaksi dan renungan penulis dengan Pramoedya dan karya-karyanya, serta dengan para pendiri penerbit Hasta Mitra lainnya, yaitu Joesoef Isak dan Hasyim Rachman.
Hasta Mitra adalah penerbit progresif yang pertama kali berani menerbitkan karya-karya Pramoedya pada Zaman Soeharto. Sementara Max Lane adalah orang pertama yang memperkenalkan karya-karya Pram kepada dunia pada Zaman represi Soeharto.
Ia menerjemahkan tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan oleh Penguin Australia, United Kingdom dan Amerika. Akibat dari kerja menerjemahkan buku Pram ini, Max, yang saat itu bekerja sebagai diplomat muda kedutaan Australia di Indonesia, dipulangkan paksa oleh pemerintahan Australia, pada Tahun 1981.
Buku Pram lain yang diterjemahkan oleh Max adalah 'Arok Dedes dan Hoakiau di Indonesia'. Dari pergumulan bertahun-tahun melalui proses menerjemahkan dan interaksinya dengan banyak berdikusi bersama Pramoedya dan berbagai aktivis Indonesia lainnya, Max mencatat dan memberi analisa yang sekarang Ia tuangkan dalam kumpulan esai berjudul 'Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia' diterbitkan oleh penerbit Djaman Baroe Yogyakarta, pada Tahun 2017.
Esai-esai tersebut antara lain berupa artikel yang berupaya memberi gambaran umum tentang karya-karya Pramoedya, menganalisa berbagai ide Pramoedya tentang sejarah nusantara, asal-usul Indonesia sebagai bangsa, dan tentang hubungan antara kasta dan kelas. Karya yang didiskusikan termasuk 'Hokkiau' di Indonesia, 'Arok Dedes dan Bumi Manusia'.
Menurut Max, ada pesan terselubung dari Pramoedya buat pembacanya tentang apa yang harus disadari dalam menghadapi masa depan Indonesia.