Ketua Lingkar Madani, Ray Rangkuti memprediksi terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi pada Pilpres 2019 mendatang. Yaitu dengan tiga pasangan calon dengan dua pasangan calon. Namun, Ray melihat bahwa besar kemungkinan hanya akan ada dua pasangan calon yang akan bertarung.
"Tapi kalau dilihat dari peta yang sekarang dan juga dengan angka presidential threshold 20 persen dengan sistem kemenangan di atas 50 persen, lebih besar kemungkinan akan ada dua calon," kata Ray di kantor PARA Syndicate, Jalan Wijaya Timur, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat ( 11/8/2017).
Kata Ray, apabila target kemenangan di atas 50 persen sesuai dengan UU Pemilu, maka akan sangat berat bila ada tiga pasangan calon. Sebab itu, dua pasangan calon adalah pilihan politik yang paling ideal pada Pilpres 2019 mendatang.
Baca Juga: Inilah Faktor-faktor Yang Bisa Bikin Jokowi Kalah di Pilpres 2019
Lebih lanjut, Ray melihat saat ini ada tiga kelompok yang sedang muncul. Pertama, yaitu koalisi pendukung Joko Widod, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Sedangkan kelompok kedua yaitu koalisi pendukun Prabowo Subianto yakni Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Kelompok ini ia istilahkan dengan koalisi petahana calon, karena Prabowo sudah dua kali maju di Pilres. Jika ia calon lagi, berarti Prabowo sudah tiga kali maju dalam pesta demokrasi tingkat nasional.
Sedangkan kelompok ketiga, kata dia yaitu kelompok Abu-abu. Yakni kelompok yang belum menentukan sikap, yaitu Partai Demokrat dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Di sisi lain, Ray juga melihat terdapat kemungkinan PAN akan menjadi bagian dari partai Abu-abu. Hal ini akan terjadi apabila Demokrat masuk kedalam koalisi Prabowo.
"Awalnya dugaan saya hanya akan ada dua partai politik yang abu-abu. Tapi kenyataannya kan sekarang ini bertambah dengan pernyataan PKB yang belum tentu mendukung pak Jokowi jadi Presiden 2019 kalau tidak ada perubahan kebijakan di full day school," ujar Ray.
Baca Juga: Siapa God Father dan God Mother Politik Jelang Pilpres 2019?
Menurut dia, PAN akan bertahan di koalisi pendukung Prabowo, apabila posisinya tidak didominasi dengan masuknya Demokrat pada koalisi itu.
"Jadi kubu Prabowo dan Susilo Bambang Yudhoyono ini bertemu, maka sebenarnya yang terpinggirkan dalam koalisi ini adalah PAN. Peran dominasi yang sebelumnya dimiliki PAN dalam koalisi ini, akan terbagi dengan masuknya Demokrat. Itu tentu saja menimbulkan kurang nyaman bagi PAN. Jadi PAN masih dalam posisi menunggu," tutur Ray.
Gerindra sebagai icon dalam koalisi Prabowo, setidaknya akan menjadi penentu dalam koalisi ini. Apakah ia akan memberikan porsi lebih kepada PAN, misal dengan memberi kursi calon Wakil Presiden 2019 atau akan bersikap sebaliknya.
Namun demikian, lanjut Ray, internal PAN sendiri akan sedikit berpolemik, dimana Amien Rais sebagai orang yang mendirikan PAN dengan Zulkifli Hasan sebagai Ketua Umum. Kedua tokoh PAN ini akan bersinggungan apabila PAN memilih keluar dari koalisi Prabowo.
"Itulah kenapa PAN agak sedikit diam pasca pertemua SBY dengan Prabowo. Karena sikap menunggu PAN nanti akan kelihatan apabila Demokrat masuk. Dan jika menjadi penanggungjawab koalisi. Tentu ini akan ada resistensi dari PAN," tutur Ray.
Sementara PKB, sudah dengan tegas menyatakan belum pasti memberi dukungan kepada Jokowi di Pilpres 2019. Hal ini menggambarkan PKB sedang menunggu kesempatannya untuk masuk di momen yang tepat.
Sedangkan Demokrat, menurut Ray, partai ini terkesan sedang bermain dua kaki. Disatu sisi, SBY sebagai Ketua Umum Demokrat bertemu dengan Prabowo. Disisi lain, ia juga meminta anaknya, Agus Harimurti Yudhoyono bertemu dengan Jokowi di istana kepresidenan yang menurut Ray, tentu saja ada hitung-hitungan politiknya.
"Demokra ada kesan yang sekarang sedang dimainkan. Peran dua kaki. Satu dengan SBY ke Prabowo, yang satunya kepada Pak Jokowi. Yang menggambarkan partai Demokrat terbuka untuk bekerja sama dengan pihak manapun. Tentu saja jika sesuai dengan hitung-hitungan dan kalkulasi politik," kata Ray.
Pun demikian pula dengan partai yang saat ini masih setia dengan Jokowi. Kata dia, semuanya masih terbuka kemungkinan berpaling dari sikap awalnya.
"Bahkan tak menutup kemungkinan partai seperti Golkar juga akan bisa jadi akan mengevaluasi kembali dukungan kepada Jokowi. Apakah akan tetap mendukung dia sebagai calon Presiden di 2019 yang akan datang atau tidak," ujar Ray.
Kata dia, dukungan Golkar kepada Jokowi akan terlihat menjelang Pilpres 2019. Ini ada korelasinya dengan status Ketua Umum Golkar, Setya Novanto yang saat ini menjadi tersangka kasus dugaan korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik.
Apabila Jokowi selamanya bersikap seakan-akan lepas tangan dengan nasib yang menimpa Novanto, maka tidak menutup kemungkinan partai berlambang pohon beringin itu akan bersikap seperti PKB yang tidak setuju dengan kebijakan full day school.
"Kalau terus menerus pak Jokowi seperti lepas tangan dalam kasus ini, boleh jadi seperti strategi yang dipakai oleh PKB. Akan mengancam pak Jokowi tidak akan memberikan dukungan pada pencalonan 2019 yang akan datang," kata Ray.